News

‎Meneguhkan Persatuan, Mengakhiri Hegemoni Oligarki ‎ ‎Oleh: Afdhal

1756692528020
Meneguhkan Persatuan, Mengakhiri Hegemoni Oligarki Oleh: Afdhal
Daftar Isian Bacaan+

    INSAN.NEWS II Pangkep – 01 – September – 2025 Sudah saatnya bangsa ini kembali menata langkah dengan penuh kesadaran kolektif. Di tengah derasnya arus politik transaksional dan dominasi oligarki yang semakin mengakar, kita kerap melupakan substansi utama kehidupan berbangsa: persaudaraan, persatuan, dan cita-cita kemajuan bersama.

    Dalam perspektif filsafat politik klasik, Plato dalam The Republic telah mengingatkan bahwa oligarki adalah bentuk penyimpangan dari sistem politik yang sehat. Ia menggambarkan oligarki sebagai pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang kaya, yang lebih mengutamakan akumulasi harta dan kepentingan pribadi dibanding kesejahteraan rakyat. Gambaran Plato ini sangat relevan dengan realitas politik kontemporer di Indonesia, di mana dominasi kapital sering kali lebih menentukan arah kebijakan publik dibanding aspirasi rakyat.

    Robert Michels, melalui Iron Law of Oligarchy, bahkan menegaskan bahwa setiap organisasi, termasuk yang lahir dari semangat demokrasi, berpotensi jatuh ke dalam cengkeraman oligarki. Menurut Michels, semakin besar dan kompleks sebuah organisasi, semakin kecil pula ruang partisipasi rakyat, dan semakin kuat pula kekuasaan segelintir elit yang mengendalikan sistem. Fenomena ini tampak nyata dalam kehidupan politik Indonesia: partai politik yang seharusnya menjadi kanal aspirasi rakyat justru sering berfungsi sebagai instrumen akumulasi kekuasaan elit.

    Padahal, sejarah Indonesia mengajarkan bahwa kekuatan bangsa ini tidak pernah terletak pada segelintir penguasa, melainkan pada kebersamaan rakyat. Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga berbagai momentum kebangsaan lain membuktikan bahwa Indonesia lahir dari persatuan dan kesadaran kolektif, bukan dari dominasi oligarki.

    Nilai persatuan ini sejalan dengan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali ‘Imran (3):103:

    Jejak Perjuangan Seorang Kader Perempuan HMI: Dari Komisariat Kecil Menuju Forum Tertinggi HMI ‎

    “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara…”

    Ayat ini menegaskan bahwa persatuan adalah nikmat dan anugerah, sedangkan perpecahan adalah sumber kelemahan. Dalam konteks kebangsaan, pesan ini sangat relevan: bangsa Indonesia tidak boleh membiarkan diri terpecah oleh kepentingan oligar yang memperlemah kohesi sosial.

    Persaudaraan sebagai fondasi kebangsaan tidak boleh terjebak dalam retorika kosong. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat banyak, bukan memperkaya segelintir elit.

    Hal ini senafas dengan Pancasila sebagai dasar negara, khususnya sila ke-3: Persatuan Indonesia, serta sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah konsensus kebangsaan yang menjadi kompas moral dan politik dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah godaan oligarki.

    ‎Dalam kerangka akademis, para ilmuwan politik seperti Larry Diamond menekankan bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh tiga hal: distribusi kekuasaan yang adil, transparansi dalam pengambilan keputusan, dan partisipasi rakyat yang otentik. Tanpa itu, demokrasi akan tereduksi menjadi procedural democracy—sekadar ritual lima tahunan pemilu yang tidak menyentuh substansi kesejahteraan rakyat.

    Reformasi Kebijakan Publik: Momentum atau Ilusi?

    Bahkan tokoh-tokoh nasional telah menegaskan pentingnya persatuan. Soekarno, dalam pidatonya menekankan bahwa:

    “Persatuan dan kesatuan bangsa adalah fondasi utama yang harus dijaga, sebab tanpa persatuan, kemerdekaan hanyalah mimpi kosong.”

    Begitu pula Gus Dur, yang selalu mengingatkan bahwa:

    ‎“Keberagaman adalah kekayaan, tetapi hanya bisa menjadi kekuatan jika kita bersatu dan saling menghormati.”

    • Karena itu, mendesak sekali bagi kita untuk menghentikan siklus “politik belah bambu”— di mana satu pihak ditekan sementara pihak lain diangkat demi kepentingan elit. Bangsa ini membutuhkan ruang dialog yang jujur dan terbuka, bukan sekadar kompromi elitis. Dialog kebangsaan sejati harus menempatkan rakyat sebagai pusat, bukan objek.
    • ‎Indonesia hari ini sedang diuji: apakah kita akan terus larut dalam permainan oligarki yang memecah persaudaraan, atau kita memilih kembali pada cita-cita kebangsaan yang memuliakan persatuan? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan: menjadi bangsa yang besar karena kokoh dalam kebersamaan, atau rapuh karena tercerai-berai oleh kepentingan segelintir elit.

    ‎Maka, meneguhkan persaudaraan bukan lagi sekadar pilihan moral, melainkan keharusan historis, spiritual, dan konstitusional. Sebab hanya dengan persatuan dan keadilan sosial, Indonesia dapat berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan bermartabat di tengah dinamika global yang semakin kompleks.

    ‎BPJS Non-Aktif, HMI Pangkep Desak Pemda Segera Lunasi Tunggakan: “Masyarakat Tidak Boleh Jadi Korban”

    × Advertisement
    × Advertisement