Oleh : Aminatuzzuhriah
INSAN.NEWS II Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai kota sejak akhir Agustus 2025 menjadi penanda bahwa suara rakyat tak lagi bisa ditekan oleh retorika manis atau janji politik yang hampa.
Usulan tunjangan perumahan fantastis bagi anggota DPR di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok telah memicu kemarahan publik. Di jalan-jalan, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil bersatu, menuntut perubahan yang nyata. Pertanyaannya: apakah ini awal dari reformasi kebijakan publik yang sesungguhnya, atau sekadar ilusi yang akan memudar begitu sorotan media meredup?
Reformasi kebijakan publik sejatinya bukan sekadar mengganti pasal atau mengubah nomenklatur program. Ia adalah proses panjang yang menuntut keberanian politik, integritas moral, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Momentum yang kini terbentuk—dengan tekanan publik yang masif—seharusnya menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik kebijakan yang elitis, tertutup, dan sering kali jauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Namun sejarah mengajarkan, momentum tanpa arah strategis mudah direduksi menjadi kosmetik politik. Banyak reformasi di masa lalu yang berhenti pada tataran simbolik:
”Pembentukan tim ad hoc, revisi undang-undang yang setengah hati, atau sekadar pergantian pejabat tanpa perubahan sistem. Inilah yang membuat sebagian kalangan skeptis—bahwa euforia protes bisa saja diakomodasi dengan kebijakan tambal sulam, sementara akar masalah tetap dibiarkan”.
Jika reformasi kebijakan publik ingin menjadi nyata, ada tiga syarat yang tak bisa ditawar. Pertama, transparansi:
Setiap proses perumusan kebijakan harus terbuka bagi pengawasan publik.
Kedua, partisipasi bermakna: rakyat bukan hanya objek penerima kebijakan, tetapi subjek yang menentukan arah dan prioritasnya.
Ketiga, akuntabilitas: pejabat publik harus siap mempertanggungjawabkan setiap keputusan, bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan nurani rakyat.
Momentum ini bisa menjadi titik balik sejarah, tetapi hanya jika diiringi keberanian untuk memutus rantai kepentingan sempit yang selama ini membelenggu negara. Tanpa itu, reformasi kebijakan publik akan tetap menjadi ilusi—indah di permukaan, rapuh di dalam.