Opinions

Ketika Musyawarah Kalah oleh Voting: Pancasila dalam Bayangan Demokrasi Liberal ‎

IMG 20251106 WA0021
Dr. Buhari, S.Pd., M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Aktivis Dan Pemerhati Sosial - Politik. Kamis (06/11/2025/). Foto Ist
Daftar Isian Bacaan+

    Oleh : Buhari Fakkah (Dosen UMS Rappang)

    INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,-  06 November 2025 – Demokrasi kini telah menjadi mantra politik yang paling sering diucapkan, namun paling sering pula disalahpahami. Kita berteriak “demokrasi” di setiap pemilu, tapi yang kita rayakan bukanlah kearifan rakyat, melainkan hitung-hitungan suara. Demokrasi berubah menjadi lomba angka, bukan ajang kebijaksanaan.

    ‎Padahal, di dasar ideologis bangsa ini, demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menang atau kalah. Sila keempat Pancasila menuntun kita pada sesuatu yang jauh lebih luhur: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

    ‎Kalimat itu bukan hiasan konstitusi. Ia adalah jiwa demokrasi Indonesia. Tapi sayangnya, dalam praktik politik modern, jiwa itu perlahan mati – terdesak oleh napas demokrasi liberal yang semakin dominan.

    Dari Musyawarah ke Mayoritas

    ‎Tubuh Perempuan: Milik Tuhan, Negara, atau Nafsu Lelaki?

    ‎Dalam demokrasi liberal, kebenaran ditentukan oleh angka mayoritas. Siapa yang mendapat suara terbanyak, dialah yang berhak menentukan arah kebijakan. Sistem ini lahir dari akar filsafat individualisme Barat yang menuhankan kebebasan pribadi, menyingkirkan moral kolektif, dan memisahkan politik dari etika.

    ‎Kita, tanpa sadar, meniru itu mentah-mentah. Musyawarah di ruang-ruang politik kini hanya formalitas; mufakat berubah jadi sekadar voting cepat; dan rakyat hanya dihitung, bukan didengarkan.

    ‎Padahal, musyawarah dalam pandangan Pancasila bukan sekadar prosedur, tetapi proses mencari kebenaran bersama dengan kebijaksanaan. Mufakat tidak lahir dari angka, tapi dari nurani dan logika yang jernih. Pancasila mengajarkan kita bahwa keputusan yang benar bukan karena disetujui banyak orang, tetapi karena adil dan bermoral.

    Demokrasi yang Kehilangan Hikmah

    ‎Coba kita tengok politik kita hari ini. Kampanye penuh caci maki, pemilu menjadi pesta uang, dan partai-partai politik sibuk bernegosiasi kursi daripada berdialog ide. Demokrasi yang mestinya mencerdaskan justru membuat publik lelah dan apatis.

    Ketika Dalil Dijadikan Borgol: Perempuan Dipenjara Atas Nama Tuhan

    ‎Inilah yang terjadi jika demokrasi kehilangan hikmat kebijaksanaan.

    ‎Demokrasi liberal memang menjanjikan kebebasan, tapi tanpa kendali moral, kebebasan itu bisa berubah menjadi egoisme kolektif. Setiap orang bebas berbicara, tapi sedikit yang mau berpikir. Setiap orang bebas memilih, tapi jarang yang menimbang dengan akal dan hati nurani.

    ‎Padahal, demokrasi Pancasila menghendaki sesuatu yang lebih matang: kebebasan yang berkeadaban. Rakyat yang berdaulat bukan hanya karena haknya, tapi karena kebijaksanaannya. Pemimpin yang sah bukan hanya karena dipilih, tapi karena bijak dalam memimpin.

    Politik Tanpa Moral, Negara Tanpa Arah

    ‎Sila keempat tidak bisa dilepaskan dari sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya, politik kita tidak boleh buta nilai.

    Serang Argumennya, Jangan Orangnya ‎

    Musyawarah dalam Pancasila harus berpijak pada moral Ketuhanan, bukan kepentingan sesaat. Pemimpin harus menimbang keputusan dengan hati, bukan dengan kalkulator politik.

    ‎Namun realitasnya, moral politik kita semakin tipis. Kekuasaan sering lebih cepat berbelok daripada prinsip, dan rakyat sering lebih mudah ditipu daripada diyakinkan dengan akal sehat. Demokrasi kehilangan ruhnya karena kita memisahkan politik dari nurani.

    Menghidupkan Kembali Musyawarah

    ‎Indonesia tidak kekurangan mekanisme politik, tapi kita kehilangan hikmah kebijaksanaan. Demokrasi Pancasila sejatinya bukan anti-demokrasi Barat, melainkan koreksi terhadapnya. Ia menolak egoisme liberal, tapi juga menolak otoritarianisme. Ia berdiri di tengah demokrasi yang manusiawi, yang menggabungkan kebebasan dengan tanggung jawab moral.

    ‎Untuk itu, musyawarah harus dihidupkan kembali sebagai praktik sosial, bukan sekadar prosedur formal. Musyawarah berarti berani mendengar yang berbeda, menghargai yang minoritas, dan mencari kebenaran bersama tanpa merasa paling benar.

    ‎Mufakat bukan berarti seragam berpikir, tetapi sepakat dalam nilai-nilai dasar: keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.

    Demokrasi Bermoral

    ‎Bangsa ini tidak kekurangan demokrasi, tetapi kekurangan jiwa Pancasila dalam berdemokrasi.

    ‎Kita boleh meniru sistem Barat, tapi jangan kehilangan akar kebijaksanaan Timur kita sendiri. Demokrasi sejati bukanlah perang angka, tetapi pertemuan akal sehat dan nurani.

    ‎Selama musyawarah kita digantikan voting, mufakat digantikan mayoritas, dan kebijaksanaan digantikan kepentingan, maka Pancasila hanya akan menjadi slogan yang dibacakan setiap upacara  tapi tak pernah dihidupkan dalam tindakan.

    Dan pada titik itu, kita harus berani bertanya:

    ‎Apakah kita masih berdemokrasi menurut Pancasila, atau sekadar berpolitik dalam bayangan liberalisme yang asing bagi jiwa bangsa ini?

    ‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement