Opinions

‎Tubuh Perempuan: Milik Tuhan, Negara, atau Nafsu Lelaki?

IMG 20251104 WA0093
Aminatuzzuhriah - Sekretaris Umum HMI Cabang Pangkep, Kamis (06/11/2025). Foto Ist. ‎
Daftar Isian Bacaan+

    Oleh : Aminatuzzuhriah – Sekretaris HMI Cabang Pangkep 

    INSAN.NEWS || Pangkep,- 06 November 2025 – Di negeri yang gemar bicara moral, tubuh perempuan selalu menjadi panggung penghakiman. Seolah-olah ia bukan manusia yang berpikir dan berkehendak, melainkan objek yang boleh diatur, dinilai, dipakai, bahkan diputuskan nasibnya tanpa ia terlibat di dalamnya.

    Pertanyaannya:

    ‎Tubuh perempuan itu milik siapa?

    ‎Tuhan?

    Ketika Musyawarah Kalah oleh Voting: Pancasila dalam Bayangan Demokrasi Liberal ‎

    ‎Negara?

    ‎Atau, jangan-jangan… hanya nafsu lelaki yang paling lantang mengaku berhak?

    Di ruang-ruang sunyi, keputusan atas tubuh perempuan sering muncul tanpa suaranya. Negara hendak mengatur cara berbusana. Agama ditafsir untuk menentukan kapan ia keluar rumah. Lelaki merasa berhak atas tubuh yang bahkan bukan miliknya.

    Akhirnya perempuan hanya menjadi “wilayah yang diperebutkan” bukan oleh cinta, tapi oleh kuasa.

    Filsuf Prancis Michel Foucault pernah menulis,

    Ketika Dalil Dijadikan Borgol: Perempuan Dipenjara Atas Nama Tuhan

    “Di mana ada tubuh, di sana ada kekuasaan.”

    Tubuh perempuan, rupanya, bukan sekadar tubuh. Ia adalah arena di mana moral, politik, dan libido bertarung. Ironisnya, perempuan selalu menjadi pihak paling kalah dalam arena itu.

    Sementara John Stuart Mill menegaskan;

    “Yang paling membenci kebebasan perempuan adalah mereka yang paling menikmati manfaat dari ketertindasannya.”

    Lalu kita mendengar sebagian orang mengatasnamakan Tuhan untuk mengatur secara total. Benarkah Tuhan yang menginginkan itu? Atau tafsir manusia yang ketakutan kehilangan dominasi?

    Serang Argumennya, Jangan Orangnya ‎

    Padahal Al-Qur’an menegaskan nilai kesetaraan:

    “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan.” – QS. Ali-Imran: 195

    Tuhan menilai manusia dari amalnya, bukan dari jenis kelaminnya. Namun realitas sosial tidak pernah sesederhana itu.

    Ketika negara masuk mengatur cara perempuan menutupi tubuhnya, ketika masyarakat mengatur cara perempuan melahirkan atau tidak melahirkan, ketika lelaki mengklaim tubuh perempuan sebagai miliknya, maka perempuan hanyalah tanah tak bertuan yang terus diklaim tanpa pernah ditanya.

    Padahal tubuh perempuan seharusnya kembali pada pemilik paling sah:

    Dirinya sendiri.

    Tuhan menciptakannya sebagai subjek moral. Negara seharusnya melindungi, bukan menguasai. Lelaki seharusnya menemani, bukan memiliki.

    Namun jika suara perempuan terus ditenggelamkan, maka pertanyaan ini akan tetap menghantui:

    Mengapa tubuh perempuan menjadi ruang ibadah ketika patuh, tapi menjadi ruang dosa ketika memilih?

    Mungkin karena selama ini, yang berpikir merasa berhak menentukan, dan yang punya tubuh dipaksa menerima.

    Pada akhirnya, persoalan bukan tentang aurat atau moral. Ini soal siapa yang dianggap memiliki kedaulatan atas tubuh yang menanggung konsekuensinya.

    Dan selama perempuan tidak diberi ruang untuk menjawab, maka pertanyaan itu harus terus kita ulang:

    ‎Tubuh perempuan: Milik Tuhan, negara, atau nafsu lelaki?

    ‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement