Opinions

Etika Demokrasi dan Hukum dalam Politik Partisan ‎

0b06a628 d7c6 469e a31d 18715ee3abf8 20251107 144400 0000
Dr. Buhari, S.Pd., M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Aktivis Dan Pemerhati Sosial - Politik. Jum'at (07/11/2025). Foto Ist
Daftar Isian Bacaan+

    Ketika Kaum Partisan Bersorak atas Penetapan RRT sebagai Tersangka

    Oleh : Buhari Fakkah (Dosen UMS Rappang)

    INSAN.NEWS || Rappang,- 07 November 2025 – Demokrasi Indonesia sedang diuji bukan hanya oleh politik uang atau manipulasi elektoral, tetapi oleh watak partisanship yang kian membutakan etika berpikir publik.

    Kasus penetapan RRT – yang dikenal publik karena tudingannya soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo – menjadi cermin paling terang bagaimana sebagian warga mengidentifikasi hukum sebagai senjata politik, bukan sebagai instrumen keadilan.

    Sorak-sorai partisan di media sosial atas status tersangka seseorang menandai matinya nalar etik dalam tubuh demokrasi yang seharusnya menjunjung due process of law dan asas praduga tak bersalah.

    ‎Tubuh Perempuan: Milik Tuhan, Negara, atau Nafsu Lelaki?

    Hukum dalam negara demokrasi seharusnya berdiri tegak di atas prinsip keadilan substantif, bukan tunduk pada tekanan mayoritas politik. Namun dalam praktik politik partisan, hukum sering digeser menjadi alat legitimasi moral bagi kelompok yang sedang menang opini.

    Ketika seseorang dijadikan tersangka, bukan lagi proses hukum yang menjadi fokus, melainkan bagaimana momentum itu dipakai untuk meneguhkan narasi ideologis bahwa “lawan politik harus dibungkam”. Di titik ini, demokrasi kehilangan wajah etiknya dan berubah menjadi arena balas dendam simbolik.

    Partisanship, dalam arti sosiologis, memang tak terhindarkan dalam sistem demokrasi. Setiap warga berhak memiliki afiliasi dan pandangan politik yang berbeda.

    Tetapi ketika partisanship berubah menjadi kultus – yakni kesetiaan buta terhadap figur dan kebenaran tunggal versi kelompoknya – maka yang lahir bukan lagi warga negara, melainkan jemaat politik. Di tangan kaum partisan, etika politik bergeser dari civic virtue (kebajikan warga) menjadi tribal morality (moralitas kesukuan).

    “Hukum pun tak lagi dihormati karena keadilannya, tetapi karena fungsinya untuk menghantam musuh ideologis”.

    Ketika Musyawarah Kalah oleh Voting: Pancasila dalam Bayangan Demokrasi Liberal ‎

    Kasus RRT hanya contoh, bukan anomali. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik Indonesia dipenuhi dengan praktik “tribalisasi” hukum dan opini. Ketika seorang aktivis oposisi diseret ke pengadilan, para pendukung pemerintah berteriak “inilah akibat fitnah!”. Sebaliknya, jika tokoh pro-pemerintah tersandung perkara, kelompok oposisi akan berteriak “kriminalisasi!”. Dalam dua-duanya, hukum kehilangan otonominya sebagai sistem rasional yang berdiri di atas bukti dan norma;

    “Ia berubah menjadi ritual legitimasi bagi fanatisme politik”.

    ‎Di sini persoalan mendasarnya bukan lagi sekadar hukum atau politik, melainkan etika demokrasi itu sendiri. Etika demokrasi menuntut sikap welas asih terhadap lawan, penghormatan terhadap perbedaan, dan kesediaan untuk menunda penilaian sampai proses hukum berjalan tuntas.

    Namun di era digital, kecepatan informasi menyingkirkan kebijaksanaan. Setiap penetapan tersangka langsung ditafsir sebagai kemenangan ideologis.

    Setiap proses hukum yang belum final sudah diadili oleh massa virtual. Demokrasi berubah dari forum deliberatif menjadi tribunal emosional.

    Ketika Dalil Dijadikan Borgol: Perempuan Dipenjara Atas Nama Tuhan

    Lebih dari itu, ketika hukum dipersepsi sebagai instrumen politik, kepercayaan publik terhadap institusi negara ikut tergerus. Rakyat bukan lagi percaya kepada keadilan, melainkan pada siapa yang lebih kuat dalam menguasai narasi.

    Inilah bentuk erosion of legitimacy erosi legitimasi moral dan hukum yang pelan tapi pasti menghancurkan fondasi negara hukum itu sendiri.

    Padahal, dalam prinsip demokrasi Pancasila, etika hukum seharusnya berakar pada keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab moral. Setiap kritik terhadap penguasa adalah bagian sah dari hak warga negara, tetapi setiap tuduhan juga wajib diuji dengan data dan akal sehat.

    Begitu pula negara, dalam menegakkan hukum, tidak boleh kehilangan kebijaksanaan etik:

    “Hukum bukanlah instrumen pembalasan, melainkan sarana memulihkan martabat kebenaran publik”.

    Jika partisanship terus menggerogoti nalar etik hukum, maka kita akan hidup dalam republik yang paradoksal:

    hukum tampak bekerja, tetapi keadilan mati di dalamnya. Orang bisa bebas bicara, tetapi takut berpikir. Demokrasi seolah ramai, padahal substansinya kosong – karena publik hanya bersorak bagi kelompoknya sendiri, bukan bagi nilai kebenaran.

    Kita boleh tidak setuju dengan gaya RRT, atau dengan siapa pun yang kritis terhadap penguasa. Tetapi kita tak boleh kehilangan etika berpikir:

    “Bahwa menegakkan kebenaran tak bisa dilakukan dengan membenarkan cara-cara yang merendahkan nilai keadilan”.

    Demokrasi tanpa etika hanyalah kompetisi kebencian yang dilegalkan oleh konstitusi. Hukum tanpa moral hanyalah kekuasaan dengan seragam keadilan.

    Mungkin sudah saatnya kita berhenti bersorak, dan mulai bertanya:

    “Apakah hukum sedang bekerja untuk kebenaran, atau sekadar melayani kegirangan partisan”?

    ‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement