Oleh: Buhari Fakkah,- Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidrap,- 09 November 2025 – Demokrasi tanpa ruang bagi kebenaran hanyalah kebisingan yang disusun oleh kekuasaan. Kita hidup di masa di mana riset bisa dianggap fitnah, dan peneliti bisa diperlakukan seperti pelaku kejahatan hanya karena menyentuh wilayah yang dianggap “terlarang” bagi publik: Kebenaran tentang pejabat.
Demokrasi dan Cacat Bawaannya
Sejak awal, demokrasi selalu menyimpan cacat bawaan: ia menjanjikan kebebasan berpikir, namun sekaligus memberi kuasa kepada mereka yang trauma terhadap kritik. Ketika kebenaran dikontrol oleh kekuasaan, demokrasi berubah menjadi teater kepatuhan yang legal.
Dalam konteks Indonesia, kita melihat bagaimana penelitian publik terhadap dokumen pejabat negara yang seharusnya bersifat terbuka dan dapat diuji secara ilmiah justru dianggap sebagai tindak kriminal. Bukan kebenaran yang diperiksa, melainkan siapa yang mengucapkannya.
Maka, demokrasi ini mulai kehilangan logika etisnya: Rakyat boleh bersuara, asal tidak menyentuh yang berkuasa.
Trauma Kekuasaan terhadap Kritik
Dalam psikologi politik, fenomena ini disebut defensive legitimacy ketika penguasa merasa perlu mempertahankan legitimasi dengan menolak segala bentuk kritik, bahkan yang berbasis data. Kekuasaan tidak lagi percaya diri menghadapi kebenaran; ia memilih mengontrolnya.
Kritik dianggap serangan, riset dianggap fitnah, dan peneliti dianggap musuh negara. Padahal, penelitian publik tidak pernah bertujuan menggulingkan kekuasaan, tetapi memastikan kekuasaan tetap berpijak pada kebenaran.
Sayangnya, di negeri ini, pertanyaan bisa lebih menakutkan daripada kebohongan.
Kebenaran yang Tidak Diinginkan
Filsuf Michel Foucault pernah menulis, “Truth is not outside power; it is a thing of this world.”
Kebenaran, katanya, selalu berhadapan dengan struktur kekuasaan yang ingin mengatur siapa yang berhak mengucapkannya.
Kita hidup dalam situasi di mana penelitian ilmiah bukan diuji, melainkan dipolisikan. Kebenaran yang tidak sesuai dengan narasi penguasa dianggap melawan negara.
Padahal, demokrasi yang sehat seharusnya memberi ruang bagi verifikasi, bukan kriminalisasi. Meneliti keaslian dokumen publik bukan bentuk kebencian, melainkan wujud kepedulian terhadap integritas negara.
Ketakutan Kolektif terhadap Kebenaran
Dampak sosial dari situasi ini berbahaya. Ketika kritik dibungkam dan peneliti dituduh, lahirlah collective fear of truth yaitu ketakutan bersama terhadap kebenaran.
Akademisi memilih diam, media berhitung, dan publik terbiasa hidup dalam ketidakpastian yang disamarkan dengan jargon stabilitas.
Demokrasi seperti ini hanya hidup di kulitnya, tetapi mati di nuraninya. Ia menciptakan generasi yang patuh, bukan kritis; takut berpikir, tapi fasih membenarkan.
Rehabilitasi Moral Demokrasi
Kita harus berani mengakui: Demokrasi Indonesia sedang sakit secara moral. Ia perlu direhabilitasi, bukan dari perbedaan pendapat, tetapi dari ketakutan terhadap kebenaran.
Kebenaran yang lahir dari penelitian harusnya diuji dengan data, bukan dipenjara dengan pasal. Negara yang benar-benar percaya diri tidak akan takut pada kebenaran justru akan menjadikannya dasar legitimasi yang paling kuat.
Antonio Gramsci pernah berkata, “The old world is dying, and the new one struggles to be born.”
Mungkin dunia lama politik kita memang sedang sekarat – dunia di mana kebenaran diatur, dan kritik dipidana. Tapi demokrasi sejati akan lahir dari keberanian orang-orang kecil yang tetap mencari kebenaran, sekalipun harus melawan arus kekuasaan.
Penutup
Negara tidak akan runtuh karena kebenaran, tapi akan hancur karena ketakutannya sendiri untuk mendengarkan kebenaran. Demokrasi yang takut pada penelitian sedang menyiapkan liang kuburnya sendiri.
Karena sesungguhnya, kebenaran tidak pernah butuh izin untuk hidup ia hanya butuh keberanian untuk diucapkan.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


