Opinions

Ketika Wasit Ikut Bertanding: Moral yang Hilang dari Penegakan Hukum

IMG 20251111 WA0091
Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di berbagai Media. Jum'at (14/11/2025). Foto Ist ‎
Daftar Isian Bacaan+

    INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang – 14 November 2025 – Dalam demokrasi, hukum seharusnya menjadi panggung netral tempat kebenaran diuji tanpa tekanan politik. Namun di negeri ini, panggung itu sering berubah menjadi arena kekuasaan di mana “wasit ikut bertanding”.

    Kasus penetapan Roy Suryo dan rekan peneliti ijazah Jokowi sebagai tersangka menjadi cermin telanjang bahwa hukum telah kehilangan jarak etiknya terhadap kekuasaan.

    ‎Publik tentu masih ingat:

    “Penelitian terhadap dokumen publik berupa ijazah presiden yang diunggah oleh salah satu kader partai politik seharusnya menjadi ruang akademik yang sah, bukan kriminal”.

    Tetapi, alih-alih dijadikan bahan klarifikasi dan keterbukaan, hasil penelitian itu justru menyeret para peneliti ke meja penyidikan. Ini menandakan bahwa dalam demokrasi prosedural kita, kebenaran ilmiah dapat dikriminalisasi bila bersentuhan dengan kekuasaan.

    Politik Panggung Depan dan Panggung Belakang dalam Penetapan Roy Suryo Cs sebagai Tersangka

    Hukum sebagai Bayangan Kekuasaan

    ‎Sejak awal, demokrasi dijanjikan sebagai sistem yang menundukkan kekuasaan di bawah hukum. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya – hukum menunduk pada kekuasaan. Ketika penegakan hukum diarahkan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menertibkan kritik, maka ia kehilangan wataknya sebagai alat keadilan.

    ‎Seorang ahli hukum terkemuka, Hans Kelsen, menyebut hukum sebagai sistem norma yang berdiri independen dari kepentingan politik. Tapi di Indonesia, hukum justru hidup di bawah bayang-bayang politik. Ia lebih sering menjadi alat legitimasi kekuasaan daripada alat kontrol terhadap kekuasaan itu sendiri.

    Etika Penegak Hukum: Antara Nurani dan Loyalitas

    ‎Penegak hukum sejatinya adalah penjaga moral publik. Mereka berdiri di antara dua kekuatan:

    Ketika Putusan Mendahului Kebenaran: Satire atas Demokrasi yang Kehilangan Nalar

    “Nurani dan loyalitas. Ketika loyalitas pada kekuasaan lebih besar dari tanggung jawab moral kepada keadilan, maka keadilan hanyalah slogan yang kehilangan jiwa”.

    Filsuf Albert Camus pernah memperingatkan, “Kekuasaan yang tidak dikendalikan oleh moral adalah bentuk paling halus dari kekerasan.” Di titik inilah publik mulai merasakan kekerasan simbolik:

    “Para peneliti diseret atas nama pasal, sementara pejabat yang harusnya membuka diri terhadap verifikasi justru dilindungi dengan dalih etika politik. Padahal, dalam negara hukum, setiap warga negara berhak memeriksa kebenaran publik tanpa takut dikriminalisasi”.

    Demokrasi yang Kehilangan Jiwa

    ‎Demokrasi bukan sekadar kotak suara dan prosedur hukum. Ia memerlukan jiwa moralitas yang menjamin kebebasan berpikir dan mengkritik. Ketika penelitian publik terhadap pejabat negara dianggap ancaman, maka demokrasi telah kehilangan daya kritisnya.

    Gelar Pahlawan dan Kemajuan Bangsa ‎Oleh: Baharuddin Hafid

    ‎Dalam situasi seperti ini, hukum menjadi alat disciplining warga – sebuah bentuk penertiban yang halus tapi menakutkan. Negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan berseragam hukum. Publik diajarkan untuk diam, karena setiap pertanyaan bisa diartikan sebagai penghinaan atau fitnah. Padahal, demokrasi tumbuh dari keberanian bertanya, bukan dari kepatuhan bisu.

    Paradoks Negara Hukum

    ‎Negara hukum idealnya berlandaskan keadilan substantif, bukan sekadar legalitas prosedural. Tetapi dalam praktik, hukum kita tampak bekerja selektif:

    “Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus-kasus yang menyentuh kekuasaan sering kali diselesaikan bukan dengan kebenaran, melainkan dengan narasi pembenaran”.

    ‎Fenomena penetapan Roy Suryo cs hanyalah satu contoh dari paradoks itu. Mereka dituduh menyebarkan kebohongan, padahal yang mereka lakukan adalah penelitian atas dokumen publik. Jika aktivitas ilmiah semacam itu dianggap kejahatan, maka kita harus bertanya dengan getir:

    Apakah hukum kini takut pada ilmu pengetahuan?

    Penutup: Saat Hukum Kehilangan Moral

    ‎Demokrasi hanya akan bermakna bila hukum dijalankan dengan moral. Tanpa itu, hukum hanyalah alat untuk membungkam yang lemah dan melindungi yang berkuasa. Kasus ini bukan semata soal ijazah, melainkan soal hati nurani hukum:

    Apakah ia masih bekerja untuk kebenaran, atau hanya untuk kekuasaan?

    ‎Selama wasit masih ikut bertanding, jangan pernah berharap pertandingan akan adil. Karena di negara di mana hukum telah menjadi alat kuasa, kebenaran hanyalah penonton yang tidak pernah diundang ke lapangan.

    INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement