Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 19 November 2025 – Dalam sistem demokrasi, hukum seharusnya menjadi paru-paru negara sebagai tempat mengalirnya oksigen keadilan yang memberi kehidupan pada setiap organ kekuasaan.
Tanpa hukum yang sehat, demokrasi hanyalah tubuh yang megah di luar namun sekarat di dalam.
Dan kini, hukum kita tampaknya mulai kekurangan oksigen. Ia masih berdiri, masih berbicara atas nama keadilan, tetapi napasnya tersengal-sengal oleh tekanan kepentingan dan polusi politik.
Dalam dunia medis, kekurangan oksigen disebut hipoksia yaitu kondisi di mana tubuh masih hidup, tetapi sel-selnya perlahan mati karena kehilangan suplai udara bersih. Dalam konteks hukum, hipoksia itu terjadi ketika hukum kehilangan sumber kehidupannya:
”Kebenaran dan nurani. Ia masih aktif secara administratif, tetapi secara etis telah lumpuh. Ia masih dijalankan, namun tidak lagi berlandaskan keadilan”.
Kita menyaksikan bagaimana hukum di negeri ini sering kali bekerja bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk membenarkan kekuasaan.
Proses hukum berubah menjadi arena politik, sementara aparat penegak hukum menjadi pemain yang diarahkan oleh naskah kekuasaan.
Di ruang publik, tuduhan, opini, dan framing media sering lebih menentukan arah hukum daripada pembuktian yang rasional dan objektif.
Ketika hukum sudah kehilangan oksigen moralnya, maka yang bertahan bukanlah kebenaran, melainkan keberpihakan.
Setiap pasal bisa menjadi alat untuk menjerat siapa pun yang dianggap “mengganggu kenyamanan politik”.
Dalam kondisi seperti ini, hukum tak lagi menjadi wasit, melainkan bagian dari permainan itu sendiri. Ia tak netral, tak bebas, dan tak lagi suci.
Aristoteles pernah berkata bahwa justice is the bond of men in states;
“For the administration of justice, which is the determination of what is just, is the principle of order in political society”.
Jika hukum kehilangan keadilan, maka tatanan sosial akan kehilangan arah. Ketika oksigen keadilan terhenti, tubuh demokrasi akan mengalami mati suri, hidup secara prosedural tetapi mati secara moral.
Fenomena hukum yang kekurangan oksigen ini tampak jelas dalam cara publik memaknai penegakan hukum hari ini. Setiap kasus besar seolah memiliki aroma politik;
“Setiap penyelidikan seakan sudah diarahkan oleh kepentingan”.
Keadilan menjadi selektif, bergantung pada siapa yang menjadi subjeknya. Dalam situasi ini, rakyat tidak lagi percaya pada hukum, karena hukum tidak lagi bernafas dengan udara keadilan, melainkan dengan gas kekuasaan.
Padahal, dalam konsepsi negara hukum (rechtsstaat), keadilan adalah oksigen yang membuat hukum hidup. Tanpa keadilan, hukum hanyalah teks dingin yang bisa dipelintir oleh siapa pun yang memegang kekuasaan.
Hukum harus bernapas dengan moralitas, bukan dengan loyalitas politik. Ia harus melayani kebenaran, bukan melindungi kekuasaan.
Kini kita sampai pada pertanyaan mendasar:
Dengan udara siapa hukum kita bernafas hari ini?
Apakah dengan udara rakyat yang menginginkan keadilan, atau dengan udara kotor kekuasaan yang menyesakkan nurani?
Jika jawabannya yang kedua, maka tidak heran hukum kita tampak hidup tapi sebenarnya sekarat.
Sama seperti tubuh yang kekurangan oksigen, hukum yang kehilangan keadilan tidak langsung mati. Ia hanya perlahan melemah, kehilangan kesadaran, hingga akhirnya tinggal nama tanpa ruh.
Jika negara ingin menyelamatkannya, maka ia harus membuka kembali saluran udara moral yang tersumbat oleh kepentingan politik dan kekuasaan.
Karena hukum, tanpa oksigen keadilan, hanyalah tubuh kosong yang terus berbicara tentang kebenaran tapi tak lagi bisa menghidupkannya.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


