Opinions

Demokrasi dan Logika yang Tertukar: Wajah Nalar Politik Masa Kini

IMG 20251124 WA0040
Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di berbagai Media. Senin (24/11/2025). Foto Ist
Daftar Isian Bacaan+

    Oleh : Buhari Fakkah,- Dosen UMS Rappang

    ‎INSAN.NEWS || Sidenreng Rappang,- 24 November 2025 – Demokrasi, yang dulu dijanjikan sebagai rumah bagi rasionalitas dan keadilan, kini lebih menyerupai panggung sandiwara tempat logika dipermainkan, dan kebenaran dipermak agar sesuai dengan selera penonton.

    Kita hidup dalam era di mana demokrasi tidak lagi menegakkan logika, tetapi logika yang harus menyesuaikan diri dengan arah angin demokrasi yang dikendalikan oleh kekuasaan, modal, dan algoritma.

    ‎Di bawah rezim opini dan persepsi, kebenaran tidak lagi bersumber dari bukti, tetapi dari seberapa banyak yang percaya. Maka, ketika logika tertukar, rakyat pun ikut bingung membedakan siapa penjahat dan siapa pahlawan.

    Demokrasi yang seharusnya memuliakan akal sehat kini justru mempromosikan kebodohan massal yang dikemas rapi dalam retorika populisme dan pencitraan digital.

    ‎Diktatorisme Politik Dalam Bayang-Bayang Demokrasi Pancasila: Partai Berubah Jadi PT. PERSERO

    Politikus tampil bukan sebagai negarawan, tapi sebagai aktor dengan naskah yang disusun oleh konsultan citra. Mereka bicara tentang moral di depan kamera, lalu bertransaksi di belakang layar.

    Sementara rakyat, dengan penuh keyakinan, menonton drama itu dan berdebat di kolom komentar seolah sedang ikut menyelamatkan bangsa. Padahal yang diselamatkan hanyalah ego politik orang-orang di atas.

    ‎Media yang dulu menjadi benteng terakhir akal sehat kini berubah menjadi panggung amplifikasi kepentingan. Mereka tidak lagi memberitakan fakta, tapi mengatur persepsi.

    Demokrasi akhirnya menjadi ajang kompetisi narasi, bukan pertarungan gagasan. Dan di tengah hiruk-pikuk itulah logika terkubur dengan elegan – bersama nurani yang ditukar dengan popularitas.

    ‎‎Ironisnya, banyak yang masih menganggap keadaan ini wajar. Ketika hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, masyarakat hanya mengangkat bahu. Ketika keadilan disesuaikan dengan kepentingan, kita menyebutnya “realitas politik.” Padahal itulah tanda paling nyata dari demokrasi yang sedang sekarat – demokrasi yang hidup tanpa nalar.

    ‎Islam sebagai Titik Temu Peradaban Dunia

    ‎Dalam logika yang tertukar, kebenaran tak lagi dicari, tapi dikonstruksi. Fakta bukan untuk dipahami, tapi untuk dikendalikan. Kekuasaan tak lagi tunduk pada etika, karena etika kini dianggap penghalang ambisi.

    Lalu kita bertanya-tanya, kenapa bangsa ini tak kunjung dewasa secara demokratis? Jawabannya sederhana:

    “Karena kita sudah terbiasa hidup di antara kebohongan yang tampak rasional dan kebodohan yang terasa logis”.

    ‎Mungkin inilah era ketika berpikir jernih dianggap tindakan subversif. Ketika mempertanyakan dianggap memberontak. Ketika kejujuran justru tampak bodoh di tengah kepalsuan yang sistematis.

    Demokrasi dan logika kini berjalan di dua jalan yang berbeda – satu menuju legitimasi kekuasaan, satu lagi menuju kematian akal sehat. Dan di antara keduanya, rakyat dibiarkan berjalan tanpa arah, mengira sedang memilih pemimpin, padahal hanya sedang memilih bentuk baru dari penipuan yang lebih elegan.

    ‎Hukum Kekurangan Oksigen: Ketika Keadilan Tak Lagi Bernapas

    ‎Karena di republik ini, yang paling berbahaya bukanlah diktator yang berkuasa, melainkan rakyat yang sudah berhenti berpikir.

    INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement