Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- Minggu 28 Desember 2025 – Ilmu pengetahuan pada hakikatnya lahir sebagai upaya pembebasan, membebaskan manusia dari kebodohan, takhayul, dan dominasi kuasa yang sewenang – wenang.
Namun, sejarah intelektual menunjukkan paradoks yang menyakitkan di mana ilmu yang seharusnya mencerahkan justru kerap berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Pada titik inilah kesombongan intelektual menyamar sebagai kebenaran objektif, terutama ketika hukum dan demokrasi dipraktikkan secara tekstual, formalistik, dan ahistoris.
Ilmu yang Membeku dan Hilangnya Kesadaran Kritis
Max Horkheimer pernah membedakan traditional theory dan critical theory. Ilmu yang berhenti pada deskripsi dan kepatuhan prosedural, tanpa keberpihakan pada emansipasi manusia, hanyalah ilmu yang “netral secara moral tetapi tumpul secara etis” (Horkheimer, 1937).
Dalam konteks hukum dan demokrasi, pendekatan tekstual sering kali mengabaikan realitas sosial yang melatarbelakangi lahirnya norma.
Hukum direduksi menjadi kumpulan pasal, bukan sebagai instrumen keadilan. Demokrasi disempitkan menjadi prosedur elektoral lima tahunan, bukan sebagai praksis partisipasi dan kontrol rakyat.
Padahal, seperti diingatkan Satjipto Rahardjo,
“Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Ketika teks dipuja secara dogmatis, maka keadilan sosial justru dikorbankan atas nama kepastian hukum.
Kesombongan Intelektual dan Fetisisme Teks
Kesombongan intelektual lahir ketika pengetahuan dipisahkan dari kerendahan hati epistemik. Orang merasa benar bukan karena argumentasinya berpihak pada keadilan, tetapi karena ia bersandar pada teks, pasal, atau prosedur.
Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai symbolic power yaitu kekuasaan yang bekerja melalui bahasa, klasifikasi, dan legitimasi akademik (Bourdieu, 1991).
Dalam praktik hukum, fetisisme teks menjelma dalam putusan – putusan yang sah secara prosedural tetapi cacat secara moral. Dalam demokrasi, ia muncul dalam klaim bahwa “semua sudah sesuai aturan”, meski aturan itu lahir dari relasi kuasa yang timpang.
Hannah Arendt mengingatkan bahwa kejahatan modern sering kali tidak dilakukan oleh monster, melainkan oleh birokrat patuh yang berhenti berpikir kritis (the banality of evil) (Arendt, 1963).
Demokrasi Prosedural dan Ilusi Kedaulatan Rakyat
Joseph Schumpeter mendefinisikan demokrasi secara minimalis sebagai metode kompetisi elit untuk memperoleh suara rakyat. Definisi ini memang efisien, tetapi berbahaya jika dijadikan satu – satunya rujukan.
Demokrasi prosedural tanpa etika deliberatif menjelma menjadi apa yang disebut Colin Crouch sebagai post-democracy, rakyat hadir saat pemilu, lalu menghilang dalam pengambilan keputusan (Crouch, 2004).
Di sinilah ilmu politik yang tekstual dan positivistik sering gagal membaca ketimpangan struktural. Demokrasi dianggap sehat selama prosedur dipenuhi, meski oligarki ekonomi mengendalikan kebijakan.
Antonio Gramsci menyebut kondisi ini sebagai hegemoni, ketika dominasi berlangsung bukan melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan yang dibentuk oleh wacana dan institusi (Gramsci, 1971).
Hukum Positivistik dan Keadilan yang Terasing
Tradisi hukum positivistik dari Austin hingga Kelsen menekankan validitas hukum pada sumber formalnya.
Pendekatan ini penting untuk ketertiban, tetapi berbahaya jika dilepaskan dari konteks sosial.
Eugen Ehrlich mengingatkan bahwa living law yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat sering kali lebih menentukan keadilan daripada hukum negara yang tertulis.
Ketika hakim, akademisi, dan penegak hukum berlindung di balik teks undang – undang tanpa keberanian moral, hukum kehilangan rohnya. Gustav Radbruch, setelah menyaksikan hukum Nazi yang sah secara formal, menyimpulkan:
“Hukum yang sangat tidak adil bukanlah hukum.” (Radbruch Formula).
Ilmu yang Membebaskan versus Ilmu yang Melayani Kuasa
Paulo Freire dengan tegas mengkritik banking concept of education yaitu pendidikan yang hanya mentransfer pengetahuan tanpa kesadaran kritis.
Ilmu semacam ini tidak membebaskan, melainkan mendisiplinkan. Dalam konteks negara berkembang, ilmu hukum dan demokrasi sering diajarkan sebagai dogma, bukan sebagai medan kritik.
Akibatnya lahir kaum terpelajar yang fasih mengutip pasal, tetapi gagap membaca penderitaan rakyat. Mereka menjadi apa yang oleh C. Wright Mills disebut cheerful robots yang terdidik tetapi kehilangan imajinasi sosiologis.
Penutup: Mengembalikan Ilmu pada Etika Pencerahan
Ketika ilmu tidak lagi mencerahkan, di situlah kesombongan menyamar menjadi kebenaran. Hukum dan demokrasi yang dipraktikkan secara tekstual tanpa refleksi etis hanya akan melanggengkan ketidakadilan dalam balutan legalitas. Ilmu harus kembali pada tugas asalnya:
”Yaitu mempertanyakan yang mapan, membela yang lemah, dan mengganggu kenyamanan kekuasaan”.
Seperti dikatakan Immanuel Kant,
“Pencerahan adalah keberanian untuk menggunakan akal sendiri.”
Keberanian itu hari ini berarti menolak tunduk pada teks tanpa nurani, pada prosedur tanpa keadilan, dan pada ilmu yang kehilangan daya emansipatorisnya.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


