Opinions

‎Hukum, Populisme, dan Demokrasi yang Terbelah: Membaca Eskalasi dan Segregasi Politik Indonesia Kontemporer

IMG 20251103 WA0016
‎Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di Berbagai Media. Rabu (31/12/2025). Foto Barsa

Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang

INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- Selasa 30 Desember 2025 – Indonesia pasca reformasi sering dipuji sebagai negara demokratis yang stabil secara prosedural. Pemilu dilaksanakan secara berkala, pergantian kekuasaan berlangsung relatif damai, dan institusi hukum bekerja dalam kerangka konstitusional.

‎Namun di balik keberhasilan prosedural tersebut, tersimpan problem laten berupa eskalasi konflik politik dan segregasi sosial yang kian tajam.

‎Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari cara hukum dipahami dan dipraktikkan yakni dominasi pendekatan hukum normatif yang berkelindan dengan populisme hukum, dalam lanskap demokrasi prosedural yang miskin deliberasi.

‎Dalam kerangka Hans Kelsen, hukum dipahami sebagai sistem norma yang otonom dan sah karena prosedur pembentukannya, bukan karena kandungan moral atau dampak sosialnya.

Kalender yang Disakralkan, Akal yang Diliburkan ‎

‎Paradigma ini secara implisit menjadi fondasi praktik hukum Indonesia kontemporer:

‎”Hukum dianggap selesai ketika telah memenuhi syarat formal”.

‎Akibatnya, perdebatan publik sering berhenti pada legalitas, bukan keadilan. Ketika konflik politik meningkat, negara cukup menunjuk pasal;

‎”Ketika kritik muncul, ia dibalas dengan argumen “ini sesuai undang-undang”.

‎Pendekatan semacam ini menjadi lahan subur bagi populisme hukum. Dalam konteks Indonesia, populisme hukum tampak ketika hukum digunakan secara selektif dan simbolik untuk menegaskan posisi “kita” versus “mereka”. 

H.O.S. Tjokroaminoto: Denyut Nadi Awal Nasionalisme Indonesia ‎Satu Guru, Tiga Ideologi

‎‎Hukum tidak lagi semata-mata instrumen pengatur, melainkan alat narasi politik:

“‎Siapa yang dianggap bermoral, siapa yang dicap mengganggu ketertiban, dan siapa yang diposisikan sebagai ancaman bagi rakyat atau negara”.

‎Di sinilah hukum berfungsi bukan hanya mengatur perilaku, tetapi juga membentuk persepsi publik.

‎Fenomena ini selaras dengan kritik Michel Foucault tentang hukum sebagai bagian dari mekanisme kekuasaan yang memproduksi kebenaran.

‎Bagi Foucault, hukum bekerja melalui normalisasi dan disiplin:

‎Ketika Ilmu Tidak Lagi Mencerahkan, Di Situlah Kesombongan Menyamar Jadi Kebenaran: Kritik atas Penerapan Hukum dan Demokrasi secara Tekstual

‎”Ia menentukan mana yang sah, mana yang menyimpang, dan siapa yang pantas disanksi”.

‎Dalam konteks Indonesia kontemporer, populisme hukum memanfaatkan mekanisme ini dengan membungkus tindakan koersif dalam bahasa moral dan legal.

Eskalasi politik pun terjadi bukan karena ketiadaan hukum, melainkan karena hukum dipakai sebagai instrumen konflik.

‎Eskalasi tersebut berdampak langsung pada segregasi politik dan sosial. Demokrasi prosedural mendorong politik elektoral berbasis kemenangan mayoritas. Ketika mayoritas menang, legitimasi dianggap selesai.

‎Minoritas baik secara politik, ideologis, maupun kultural mudah diposisikan sebagai pengganggu stabilitas.

Polarisasi elite kemudian merembes ke masyarakat, membelah ruang sosial menjadi kubu-kubu yang saling mencurigai.

‎Media sosial memperparah keadaan melalui algoritma yang menciptakan echo chamber, mempersempit ruang dialog lintas pandangan.

‎Dalam situasi ini, hukum normatif justru memperkuat segregasi. Karena hukum dibaca secara tekstual dan kaku, ia gagal menjadi medium rekonsiliasi sosial.

‎Sebaliknya, hukum tampil sebagai alat penegasan batas:

‎”Siapa yang berada di dalam lingkar “yang sah” dan siapa yang berada di luar”.

Roberto Unger tepat ketika menyatakan bahwa hukum adalah politik yang dibekukan. Di Indonesia, pembekuan ini membuat konflik politik kehilangan ruang artikulasi deliberatif dan berubah menjadi pertarungan legalistik yang dingin namun destruktif.

‎Di sinilah perbedaan mendasar antara demokrasi prosedural dan demokrasi deliberatif menjadi krusial. Demokrasi prosedural yang dominan dalam praktik Indonesia menilai demokrasi dari aspek formal:

‎”Pemilu, suara mayoritas, dan kepatuhan hukum”.

‎Namun, demokrasi deliberatif sebagaimana dirumuskan Jürgen Habermas menuntut lebih dari itu.

‎Legitimasi politik dan hukum harus lahir dari proses komunikasi publik yang rasional, inklusif, dan bebas dari dominasi. 

‎Hukum bukan sekadar produk parlemen atau pemerintah, melainkan hasil diskursus publik yang mempertimbangkan semua pihak terdampak.

‎Sayangnya, ruang deliberatif di Indonesia sering kali dikerdilkan. Perbedaan pendapat cepat dimoraliasi, kritik dilabeli ancaman, dan dialog digantikan oleh prosedur serta slogan.

‎Ketika deliberasi mati, eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Tanpa mekanisme dialog, perbedaan tidak dikelola, melainkan dipertajam. Segregasi pun mengeras, bukan hanya dalam pilihan politik, tetapi dalam relasi sosial sehari-hari.

‎Populisme hukum mempercepat proses ini. Dengan mengatasnamakan “kehendak rakyat”, hukum digunakan untuk membungkam, bukan mendengarkan.

‎Ironisnya, semua dilakukan secara sah menurut hukum normatif. Di sinilah paradoks demokrasi Indonesia kontemporer:

‎”Demokrasi berjalan, tetapi demokrasi tidak hidup”.

‎Prosedur ada, tetapi deliberasi absen. Hukum tegak, tetapi keadilan terasa menjauh.

‎Jalan keluarnya bukan dengan menolak hukum atau demokrasi, melainkan dengan menggeser paradigma.

‎Hukum Indonesia perlu dibaca secara sosio-legal dan deliberatif, bukan semata normatif. Legalitas harus diuji melalui rasionalitas publik, bukan hanya hierarki norma.

‎Demokrasi harus dipahami sebagai proses berkelanjutan membangun kesepahaman, bukan sekadar kompetisi elektoral lima tahunan.

‎Tanpa pergeseran ini, eskalasi dan segregasi politik akan terus menjadi siklus yang berulang.

‎Hukum akan tetap sah, tetapi kehilangan legitimasi moral. Demokrasi akan tetap prosedural, tetapi rapuh secara sosial. Dan dalam ruang hampa deliberasi itulah, populisme hukum akan terus menemukan panggungnya.

‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

× Advertisement
× Advertisement