Opinions

H.O.S. Tjokroaminoto: Denyut Nadi Awal Nasionalisme Indonesia ‎Satu Guru, Tiga Ideologi

1762785198607
Baharuddin Hafid - Dosen Tetap Universitas Mega Rezky Makassar Dan Instruktur NDPers Nasional. Selasa (30/12/2025). Foto Ist ‎

Oleh: Baharuddin Hafid ( Akademisi Universitas Megarezky Makassar)

‎INSAN.NEWS || Makassar,- Selasa 30 Desember 2025 – Sejarah Indonesia modern lahir bukan dari kesepakatan damai, melainkan dari pergulatan gagasan yang keras dan sering kali saling meniadakan.

‎Di titik awal pergulatan itu berdiri H.O.S. Tjokroaminoto – pemimpin Sarekat Islam, orator ulung, dan guru politik yang pengaruhnya jauh melampaui generasinya.

‎Dari satu figur ini, lahir tiga jalur ideologi besar yang membentuk sekaligus membelah republik:

‎”Nasionalisme, komunisme, dan Islamisme politik”.

Kalender yang Disakralkan, Akal yang Diliburkan ‎

‎Tjokroaminoto bukan arsitek ideologi tunggal. Ia adalah pembangkit kesadaran. Dalam pidato-pidatonya yang terekam dalam arsip Sarekat Islam, ia menegaskan dengan lugas:

‎“Selama rakyat bumiputra masih hidup dalam kemiskinan dan ketakutan, selama itu pula tidak ada keadilan di tanah ini.”

‎Kalimat ini terdengar sederhana, tetapi pada masa kolonial ia bersifat subversif. Ia menggeser Islam dari sekadar identitas kultural menjadi bahasa perlawanan politik.

‎Dari sinilah nasionalisme Indonesia menemukan denyut awalnya:

‎”Bukan sebagai simbol elite, melainkan sebagai kesadaran massa”.

‎Hukum, Populisme, dan Demokrasi yang Terbelah: Membaca Eskalasi dan Segregasi Politik Indonesia Kontemporer

‎Nasionalisme yang Cair dan Belum Selesai. Bagi Tjokroaminoto, nasionalisme adalah tuntutan untuk mengatur nasib sendiri. Dalam pidato-pidatonya tentang zelfbestuur, ia berulang kali menekankan:

‎“Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdiri di atas kaki sendiri dan mengatur rumah tangganya sendiri.”

‎Gagasan ini kelak diserap Soekarno, murid paling menonjol dari rumah indekos Gang Peneleh, Surabaya.

‎Dari Tjokroaminoto, Soekarno belajar bahwa kemerdekaan bukan hadiah moral kolonial, melainkan hak politik bangsa.

Namun nasionalisme itu sendiri sejak awal bersifat cair – belum final, belum mapan. Ia membawa kontradiksi antara agama dan negara, antara keadilan sosial dan kekuasaan politik.

‎Ketika Ilmu Tidak Lagi Mencerahkan, Di Situlah Kesombongan Menyamar Jadi Kebenaran: Kritik atas Penerapan Hukum dan Demokrasi secara Tekstual

‎Kontradiksi ini bukan cacat personal Soekarno, melainkan warisan struktural dari nasionalisme awal yang lahir di bawah tekanan kolonial. Republik berdiri di atas fondasi gagasan yang besar, tetapi belum sepenuhnya selesai dirumuskan.

Keadilan Sosial dan Jalan Radikal. Dalam tulisan-tulisannya di Oetoesan Hindia, Tjokroaminoto kerap mengkritik ketimpangan ekonomi yang dilembagakan kolonialisme:

‎“Islam tidak membenarkan satu golongan hidup berkelebihan, sementara golongan lain hidup dalam kehinaan.”

‎Kalimat ini membuka ruang tafsir yang luas. Bagi sebagian muridnya, seruan moral itu harus dilengkapi dengan perubahan struktur. Musso membaca ajaran Tjokroaminoto dari sudut penderitaan kelas buruh dan tani.

‎Dari Sarekat Islam, ia bergerak menuju komunisme – bukan semata karena pengaruh asing, melainkan karena kekecewaan pada ketidakmampuan nasionalisme awal menyelesaikan ketimpangan.

‎Musso bukan penyimpangan sejarah. Ia adalah gejala. Ia menegaskan satu fakta yang sering dihindari:

‎”Nasionalisme tanpa keadilan sosial akan selalu melahirkan oposisi ideologis”. 

‎‎Komunisme tumbuh di celah janji kemerdekaan yang tak kunjung terwujud.

‎Islam Politik dan Imajinasi Negara Total Sementara itu, Kartosuwiryo membaca Tjokroaminoto dari sudut lain.

‎Dalam salah satu pidato kongres Sarekat Islam, Tjokroaminoto menyatakan:

‎“Islam bukan agama yang memisahkan urusan dunia dan akhirat.”

‎Bagi Kartosuwiryo, pernyataan ini adalah legitimasi teologis untuk memperjuangkan negara Islam. Namun di sinilah batas antara guru dan murid menjadi tegas.

‎Jika Tjokroaminoto masih membuka ruang kompromi kebangsaan, Kartosuwiryo menutupnya. Idealisme yang tak mengenal batas politik berubah menjadi konflik bersenjata, dan sejarah Indonesia mencatatnya sebagai tragedi panjang.

‎Islamisme politik yang lahir dari rahim pergerakan nasional menunjukkan bahwa agama, ketika dipaksa menjadi sistem kekuasaan tunggal, kehilangan kebijaksanaan etisnya. Pelajaran ini mahal, dan hingga kini belum sepenuhnya dipetik.

Guru yang Membiarkan Murid Berbeda Tjokroaminoto sadar bahwa ia sedang menyalakan api, bukan mengendalikan arah nyala. Dalam satu kesempatan ia menegaskan:

‎“Lebih baik aku membangunkan rakyat yang berani berpikir, daripada menciptakan pengikut yang hanya patuh.”

‎Inilah kunci memahami paradoks sejarah:

‎”Satu guru melahirkan tiga ideologi yang saling bertarung. Nasionalisme, komunisme, dan Islamisme politik bukanlah anomali, melainkan konsekuensi dari pendidikan politik yang membuka ruang dialektika”.

‎Menyederhanakan Tjokroaminoto sebagai “Bapak Nasionalisme Islam” justru mengecilkan perannya. Ia adalah simpul sejarah – penyalur energi ide yang kemudian berkembang di luar kendalinya.

‎Warisan yang Belum Jinak – Hari ini, warisan Tjokroaminoto terasa kembali relevan dan mengganggu. Nasionalisme sering direduksi menjadi slogan kosong. Agama diperalat sebagai alat mobilisasi politik.

‎Keadilan sosial tetap menjadi janji yang tertunda. Indonesia seolah kembali ke persimpangan ideologis awal, tetapi tanpa keberanian intelektual generasi pendirinya.

‎Sejarah mencatat murid-murid Tjokroaminoto saling meniadakan. Namun republik ini justru lahir dari pertarungan itu. Dari perdebatan, bukan kepatuhan. Dari konflik gagasan, bukan keseragaman.

‎Jika H.O.S. Tjokroaminoto hidup hari ini, mungkin ia tidak akan sibuk membela satu ideologi. Ia akan mengajukan pertanyaan yang lebih mengusik:

‎“Untuk siapa sebenarnya kekuasaan itu dijalankan?”

‎Pertanyaan itu, lebih dari seabad kemudian, masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Ini Sebagai Catatan Akhir Tahun 2025

‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda ‎Follow Berita InsanNews di Google New

× Advertisement
× Advertisement