Oleh : Buhari Fakkah – UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- Rabu 31 Desember 2025 – Setiap akhir tahun, sebagian umat mendadak berubah menjadi penjaga gerbang iman. Kalender diperiksa, niat dicurigai, hitungan hari diaudit seolah malaikat pencatat amal sedang cuti massal.
Tahun Baru Masehi dianggap ancaman, sementara Tahun Baru Hijriah diklaim sebagai benteng terakhir akidah. Iman, rupanya, kini rapuh – bisa runtuh hanya karena pergantian angka di kalender.
Padahal sejak awal, Al-Qur’an memperlakukan waktu dengan tenang dan dewasa. Matahari dan bulan disebut sekadar penanda perhitungan, agar manusia tahu kapan menanam, berdagang, dan beribadah (QS. Yunus [10]: 5; QS. Al-Isra’ [17]: 12).
Tidak ada ayat yang menyuruh panik massal setiap Desember. Tidak pula ditemukan perintah menutup kalender internasional demi menyelamatkan iman dari bahaya angka.
Ironisnya, kalender Hijriah yang sering diperlakukan seperti artefak suci lahir dari rapat administrasi. Ia dibakukan pada masa Umar bin Khattab karena arsip negara kacau, bukan karena langit menurunkan memo ilahi.
Hijriah adalah produk ijtihad politik yang rasional. Namun di tangan generasi yang gemar mensakralkan simbol, ijtihad itu dipajang sebagai dogma, sementara akalnya disimpan rapi di lemari.
Tahun Baru Masehi lalu diposisikan sebagai ritual Kristen terselubung. Sebuah tuduhan yang mengandaikan dunia modern sedang melakukan misa global tanpa imam.
Padahal kalender Masehi hari ini hanyalah alat koordinasi peradaban dipakai untuk jadwal penerbangan, gaji pegawai, dan jatuh tempo cicilan. Jika kalender bisa mengubah iman, mungkin kartu ATM juga patut difatwakan.
Masalahnya bukan Masehi atau Hijriah, melainkan obsesi pada simbol yang meninabobokan. Al-Qur’an bersumpah atas waktu (QS. Al-‘Asr [103]: 1–3), bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dipertanggungjawabkan.
Manusia merugi bukan karena salah kalender, melainkan karena waktu dihabiskan untuk menghakimi, bukan memperbaiki. Namun polemik kalender selalu laku keras murah secara nalar, mahal secara emosi.
Lebih ironis lagi, Nabi Muhammad tidak pernah merayakan tahun baru apa pun. Hijrah yang diagungkan sebagai penanda kalender adalah tindakan politik-moral:
”Meninggalkan penindasan menuju keadilan”.
Kini hijrah disulap menjadi seremoni angka, sementara ketidakadilan justru dirayakan sepanjang tahun tanpa keberatan teologis.
Pada akhirnya, kalender disakralkan karena ia mudah. Menggugat ketimpangan butuh keberanian, menggugat kalender cukup modal teriak. Iman pun direduksi menjadi urusan tanggal, bukan keberpihakan. Akal diliburkan, simbol dipertuhankan.
Tahun akan terus berganti dengan atau tanpa fatwa. Pertanyaannya bukan kalender apa yang kita pakai, melainkan apakah akal masih ikut dihitung, atau ikut dipensiunkan setiap pergantian tahun.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


