Buhari Fakkah Tak Memilih Jokowi Dalam Dua Periode Terakhir ; Ini Alasannya

oleh -133 Dilihat
IMG 20220907 WA0080

Insan.News || Makassar – Dr. Buhari Fakkah merupakan akademisi dari salah satu perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia tercatat sebagai tokoh yang getol mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi. Rabu 07/09/2022.

Dalam artikel ini, Buhari menguraikan alasannya tak memilih Jokowi dalam dua pemilu terakhir, serta mengkritik berbagai kebijakannya. Dia juga menjelaskan lima poin penting dalam Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Berikuti kami sajikan artikel pertama dari artikel berseri tersebut:

Mengapa Anda memilih berseberangan dengan pemerintahan Jokowi?

Saya mulai tahun 2014. Saat itu, secara nasional terdapat dua kekuatan utama: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Konsep saya, pada tahun 2025 Indonesia akan masuk pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Konsep MEA itu membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Nah, dari seluruh alasan dan kajian-kajian yang saya lakukan, strong leadership saat itu adanya di Prabowo.

Salah satu alasan saya mengapa Prabowo disebut strong leadership karena dari sisi personalnya. Artinya, catatan-catatan masa lalu setiap capres saat ini menjadi catatan penting saya, termasuk Prabowo.

Satu-satunya kritik yang dialamatkan ke Prabowo saat itu adalah kasus pelanggaran HAM. Dan dokumen-dokumen resmi kenegaraan menyebutkan tidak ada satu pun yang menjelaskan bahwa Prabowo melakukan pelanggaran HAM. Bahkan sidang HAM di Indonesia mengatakan dia tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Dia hanya dipecat dalam sidang kode etik Tim Gabungan Pencari Fakta Mabes TNI. Tim ini yang memecat Prabowo.

Saat itu, begitu konsep saya. Karena kita akan menghadapi MEA, kita membutuhkan kepemimpinan nasional yang strong leadership. Jadi, saya tidak bicara personal.

Dalam doktrin saya, saya tidak pernah bicara individu. Saya bicara sistem dan teori yang dibangun oleh setiap kelompok. Nah, saat itu, saya menyusun 10 alasan mengapa saya tidak memilih Jokowi, salah satunya kekuatan kolaborasi Jokowi dengan kekuatan kepentingan-kepentingan asing. Itu banyak dialamatkan ke Prabowo karena karena Prabowo keturunan Manado, yang didekatkan dengan etnis tertentu, sehingga itu memutus mata rantai kedekatan secara ekonomis dan politik Jokowi dengan aseng dan asing saat itu.

Tetapi, pernyataan itu dijawab bahwa Jokowi justru menjadi pintu masuk kekuatan liberalisme dan kapitalisme ekonomi di Indonesia. Meskipun memang Pak Jokowi itu mendapatkan bola mentah saja dari hasil amandemen Konstitusi tahun 2002 bahwa calon presiden dan wakil presiden harus warga negara Indonesia. Kata aslinya hilang. Sehingga siapa warga negaranya, ini ditentukan berdasarkan undang-undang.

Karena itu, kajian saya, konsep kewarganegaraan seperti itu sangat rentan. Padahal konsep warga negara pada 17 Agustus jelas sekali siapa yang menjadi warga negara Indonesia karena berdasarkan kesepakatan Undang-Undang Dasar 1945.

Sekarang, narasi-narasi besar kenegaraan hari ini mengakibatkan warga negara saling berhadap-hadapan satu sama lain karena munculnya isu-isu pancasilais dan anti-pancasila. Bahkan, yang kita lawan adalah terkait persoalan empat pilar kebangsaan. Secara diametral saya melawan ketika almarhum Pak Taufik Kiemas mengangkat diskusi empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Baca;  Revolusi Birokrasi 2024: Mengakhiri Feodalisme di Kabupaten Bima

Hanya saja, ketika Ketua MK dijabat oleh Bang Hamdan Zoelva, beliau memutuskan untuk mencoret frasa empat pilar. Karena itu, keputusan resmi MK saat itu menghapus konsep empat pilar. Tetapi, saat ini masih dijalankan karena ada salah satu anggota MK saat itu menyatakan empat pilar boleh dijalankan. Artinya, ini bukan keputusan negara. Kalau keputusan negara sudah selesai.

Apakah Pancasila masih diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama Indonesia dipimpin Presiden Jokowi?

Salah satu hambatan terbesar bagi kekuatan kapitalis global adalah falsalah bangsa ini. Jadi, kajian saya sejak 2014 itu konstan. Saya menegaskan bahwa saya tidak akan masuk lagi pada perang proksi. Tahun 2014 saya sudah membahas perang asimetris (asimetris war): perang yang tidak membutuhkan fisik, perang yang tidak membutuhkan korban jiwa, tetapi upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan asing untuk menggeser paradigma suatu negara.

Misalnya Indonesia sebagai negara Pancasila. Itu harus digeser kenegaraannya. Bukan lagi menjadi negara Pancasila, tetapi negara yang sangat kapitalistik, negara yang liberal. Bahkan, saya menyatakan bahwa saat ini Indonesia sudah total liberalis. Full capitalist state. Negara yang total kapitalis.

Jadi, Pancasila itu hanya ada di naskah-naskah akademik dalam konsep negara. Kita bisa berdebat panjang soal itu. Bagaimana konstruksi Pancasila saat ini? Kita enggak bisa lihat lagi secara kasat mata. Semua perilaku ekonomi kita larinya ke mekanisme pasar.

Mekanisme pasar itu ciri khas ekonomi kapitalistik. Penumpukan modal kepada kekuatan-kekuatan individu dan negara diharamkan terlibat dalam mengatur struktur ekonomi.

Saya dan senior-senior saya pernah berdiskusi terkait Pancasila yang kembali ke UUD 1945. Kenapa kita kembali ke sana? Konsep dasar negara kita itu, dasar negara kita Pancasila, khususnya di sila ke-4: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan. Tafsir saya adalah demonstrasi Indonesia itu demokrasi Pancasila, yakni permusyawaratan.

Saat ini, saya terlibat dalam Pilpres. Khususnya dalam pemilihan langsung, karena itu hak saya untuk menentukan pilihan. Meskipun sistem itu kita tolak. Tetapi, kita harus terlibat dalam menentukan pemimpin. Karena itu perintah agama. Cuma, kalau kita diskusi secara khususnya, kita selalu berupaya mengembalikan sistem mula bangsa ini didirikan, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang preambule.

Dalam pengertian lain bahwa kita harus kembali pada sistem bangsa kita ini. Istilah saya dari dulu, suprastruktur demokrasi itu ada tiga: kebebasan, hak asasi manusia, dan persaudaraan dunia. Kerja-kerja ini sebenarnya muncul dari Zionisme. Negara-negara berkembang sibuk dengan teori demokrasinya, pada saat bersamaan, mereka anti demokrasi. Kita dipaksa berdebat terkait Karl Marx, Nietzsche, dan segala macam. Di saat bersamaan, mereka abaikan itu semua.

Baca;  Revolusi Birokrasi 2024: Mengakhiri Feodalisme di Kabupaten Bima

Apa isu terbesar dan terpenting bangsa Indonesia saat ini?

Isu besar negara ini adalah Pancasila. Ada lima poin penting dalam Pancasila: pertama, Pancasila sebagai sifat bangsa. Nama itu pasti ada senyawa. Ada zat pembentuk. Ada bentuk, ada sifat. Sekarang negara kita ini bentuknya berubah. Dari negara Pancasila menjadi negara yang liberal. Karena bentuknya berubah, sifatnya pun berubah. Ketika sifatnya berubah, sebenarnya namanya pun berubah.

Karena itu, dalam disertasi yang saya baca, pasca amandemen UUD 1945 tahun 2002, nama Indonesia enggak ada lagi karena perubahan bentuk dan sifat negara.

Kedua, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Ketika ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka undang-undang di bawahnya harus ditolak karena bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Begitu juga sebaliknya. Ketika amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila ke-4, seharusnya Undang-Undang Pemilu berubah karena bertentangan dengan sila ke-4.

Jadi, hak kepemimpinan itu hak keilmuan. Artinya, hak-hak keilmuan kita tidak boleh sama dan sebanding dengan hak-hak teman-teman kita dan keluarga kita yang secara kebetulan profesinya sebagai tukang becak atau tukang kebun.

Dalam bahasa yang paling kasar, teman-teman kita yang tidak bisa membaca tidak boleh memilih pemimpin. Hak keilmuan kita di situ, karena sebagai kader HMI, kita berpedoman pada surah Al-Fatir ayat 28. Jadi, hak keilmuan, hak kepemimpinan, dimiliki oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan. Jadi, memilih pemimpin itu hak keilmuan. Bukan hak individu setiap warga negara. Hanya orang yang berilmu pengetahuan yang bisa memilih pemimpin.

Ketiga, Pancasila menjadi standar keyakinan. Standar keyakinan anak bangsa ini bukan kapitalisme atau sosialisme. Standar keyakinan kita adalah Pancasila sebagai rumusan dalam membangun struktur negara ini.

Kenapa saya sebut sebagai sikap keberpihakan? Dalam konsep bernegara, kita harus punya keberpihakan. Enggak boleh datar dan ambigu. Harus ada keberpihakan. Jadi, Pancasila adalah keyakinan standar. Hanya Pancasila rumusan yang paling tepat yang bisa mengayomi kepentingan warga negara.

Ideologi harus menjawab tiga aspek: ketuhanan, kemanusiaan, dan kosmologis. Bagi saya, hanya Pancasila yang menjadi representasi keyakinan standar dalam membangun negara. Kapitalisme tidak bisa bicara aspek ketuhanan. Kapitalisme juga tidak bisa mendefinisikan dari mana manusia, siapa manusia, dan ke mana manusia. Begitu juga dengan sosialisme. Dalam rumusan Pancasila, semuanya dijelaskan. Karena itu, Pancasila menjadi keyakinan standar warga negara dalam membangun negara.

Keempat, Pancasila menjadi landasan idea atau falsafah bangsa. Falsafah bangsa kita adalah Pancasila. Falsafah bangsa kita bukan kapitalisme atau sosialisme. Hanya saja, konsep-konsep seperti ini hanya ada dalam naskah akademik. Tidak mewujud dalam praktik ekonominya.

Baca;  Revolusi Birokrasi 2024: Mengakhiri Feodalisme di Kabupaten Bima

Nah, privatisasi adalah konsep murni kapitalisme dalam dunia ekonomi. Padahal, dalam falsafah Pancasila, rumusannya sederhana. Kepemilikan harta itu ada tiga komponen: hak individu, golongan, dan negara. Misalnya, tanah dan air, itu bisa menjadi kepemilikan bersama, karena digunakan untuk hajat hidup orang banyak. Barang tambang dan mineral enggak bisa jadi milik kelompok dan individu. Dalam falsafah bangsa kita, itu harus dikuasai oleh negara. Hari ini, tambang kita dikuasai oleh swasta.

Konsep negara kita konsep Pancasila, tetapi perilaku ekonominya adalah kapitalis. Jadi, kontraproduktif. Karena itu, dorongan kita di sana. Kita enggak berhenti. Beberapa orang bilang ke saya, “Berhentilah menggarami lautan”.

Tapi, paling tidak prinsip saya sederhana. Saya memakai prinsipnya Ibrahim dengan Raja Namrud. Dalam sejarahnya, ketika Ibrahim dibakar, cicak meniup api sehingga semakin besar. Buruk pipit mencari air dengan paruhnya. Tetesan air di paruhnya digunakan untuk memadamkan api unggun yang membakar Ibrahim. Sampai-sampai cicak itu berkata, “Mustahil kamu mau memadamkan api ini”.

Tapi burung pipit menjawab, “Memang mustahil saya memadamkan api ini. Tapi paling tidak saat saya berhadapan dengan Tuhan, ketika saya ditanya, ‘Kamu di mana saat itu?’ Saya bisa menjawab di mana posisi saya. Saya berada dalam posisi menyelamatkan Ibrahim, meskipun mustahil api itu saya padamkan”.

Kelima, Pancasila sebagai dimensi atau ukuran kita. Karena Pancasila menjadi falsafah bangsa dan negara, maka tidak akan pernah sama struktur negara kita dengan asing. Termasuk dalam hal ini penetapan APBN. Penetapannya selalu merujuk pada kurs. Kenapa tidak berdasarkan Rencana Anggaran Belanja Rakyat (RAPBR)? Dulu, konsep itu ada di MPR dan DPR. Misalnya, kebutuhan rakyat berapa rupiah, di situlah dasar penetapan RAPBR. Tetapi sekarang kita tidak begitu. Negara ini Pancasilais namanya, tetapi praktik politik kita kapitalis. Makanya penetapan RAPBN selalu berpedoman pada kurs dolar.

Kita kehilangan dimensi. Nilai-nilai seperti ini yang bagi saya harus kita lihat secara utuh. Tidak berdasarkan semata-mata kepentingan. Saya selalu bilang dari dulu, “Saya tidak tahu berapa judul buku tentang demokrasi yang saya baca. Mungkin sudah 100 judul buku. Tapi, kesimpulan saya, dari pengalaman-pengalaman negara demokrasi, bahwa demokrasi itu adalah tindakan anarkisme yang dilakukan secara struktur dan masif”.

Karena demokrasi, saya dan istri saya harus berbeda pilihan. Saya dan orang tua saya berbeda pilihan. Anak saya masih ada dalam tanggung jawab saya sebelum dia menikah, termasuk tanggung jawab memilih pemimpin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *