Edukasi Opinions

Demokrasi dan Dilema Pemilih Mayoritas: Antara Rasionalitas, Pragmatisme, dan Kejatuhan Moral Politik

IMG 20251015 WA0048
Demokrasi dan Dilema Pemilih Mayoritas: Antara Rasionalitas, Pragmatisme, dan Kejatuhan Moral Politik ‎ ‎Oleh: Buhari Fakkah Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang
Daftar Isian Bacaan+

    Oleh: Buhari Fakkah (Dosen UMS Rappang)

    INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang, 15 Oktober 2025 – Demokrasi modern kerap kali dielu-elukan sebagai sistem terbaik yang pernah ditemukan manusia. Demokrasi Modern ini bahkan menjanjikan kebebasan, kesetaraan politik, dan partisipasi rakyat dalam menentukan arah kekuasaan.

    ‎Namun, di balik gemerlap jargon itu, tersimpan paradoks yang tak jarang melahirkan pemimpin yang lemah secara moral, miskin visi, dan bahkan zalim. Ironisnya, semua itu lahir bukan dari kekuasaan tirani, tetapi dari pilihan mayoritas rakyat sendiri.

    ‎Apakah mungkin demokrasi  yang katanya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat  justru menjadi sarana bagi lahirnya pemimpin yang bodoh dan dzalim? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada refleksi tentang hakikat demokrasi, rasionalitas pemilih, dan kualitas moral masyarakat yang menjalankannya.

    1. Demokrasi dan Ilusi Kedaulatan Mayoritas

    Anak Didik SMPIT Al Hikmah Pangkajene Raih Sukses di Ajang Bergengsi Nasional 7.0 ‎

    Demokrasi menempatkan suara rakyat sebagai sumber legitimasi tertinggi. Namun, demokrasi tidak serta merta identik dengan kebijaksanaan. Mayoritas tidak selalu berarti benar, sebab keputusan kolektif sering kali dibentuk oleh emosi, kepentingan sesaat, atau manipulasi politik.

    John Stuart Mill dalam On Liberty (1859) sudah mengingatkan bahaya “tirani mayoritas” (the tyranny of the majority), yakni ketika suara terbanyak justru menindas kebenaran minoritas atau rasionalitas publik. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa kesadaran kritis dapat berubah menjadi oligarki yang dibungkus suara rakyat.

    Pemilih mayoritas dalam banyak kasus sering kali terjebak pada logika pragmatis dan transaksional: siapa yang memberi uang, bantuan sembako, atau janji langsung, itulah yang dipilih. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya menjadi arena rasionalitas justru berubah menjadi pasar moral, di mana suara rakyat diperdagangkan dan nilai-nilai kebangsaan tergadai.

    2. Rasionalitas yang Terbelah: Dari Warga Menjadi Konsumen Politik

    Idealnya, pemilih demokratis adalah citizen atau warga negara yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa. Namun dalam praktiknya, banyak masyarakat berperilaku sebagai consumer politik, mereka  memilih bukan karena ide, visi, atau nilai, tetapi karena siapa yang paling menguntungkan secara pribadi.

    Sekum HMI Cabang Pangkep, Aminatuzzuhriah Resmi Diwisuda di STAI DDI Pangkep

    ‎Fenomena ini dikenal sebagai voter pragmatism, di mana rasionalitas politik direduksi menjadi kalkulasi material. Seperti diuraikan oleh Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy (1957), pemilih cenderung memilih kandidat yang menawarkan manfaat paling langsung bagi dirinya, bukan yang terbaik bagi kepentingan bangsa secara bersama.

    Pragmatisme politik ini, ketika dikombinasikan dengan rendahnya literasi politik dan etika publik, menjadi lahan subur bagi munculnya pemimpin yang dangkal, bodoh, dan otoriter. Pemimpin seperti ini tidak lahir karena kekuatan dirinya semata, melainkan karena masyarakat pemilih yang bodoh yang menilai kekuasaan sebatas transaksi timbal balik.

    3. Filsafat Politik dan Cermin Moralitas Rakyat

    Dalam filsafat politik klasik, Plato dalam Republic menulis bahwa Negara adalah bayangan dari jiwa warganya.” Jika jiwa masyarakat dikuasai oleh nafsu dan kebodohan, maka yang naik ke tampuk kekuasaan pun adalah sosok yang meniru watak itu. Sementara itu, Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America menegaskan bahwa “setiap bangsa akan memperoleh pemimpin yang pantas bagi moralitasnya.”

    Kedua pemikir ini sepakat bahwa kualitas pemimpin bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari struktur moral masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat yang permisif terhadap kebohongan, fanatisme, dan politik uang sedang menyiapkan panggung bagi munculnya pemimpin yang serupa: dangkal, manipulatif, dan zalim.

    Lalat – Lalat Demokrasi ‎ ‎Mereka Tak Membuat Undang-Undang, Tapi Menggerogoti Nilai-Nilai Yang Membentuknya

    Pandangan serupa juga tertuang dalam Al-Qur’an (QS. Al-An‘am: 129), “Demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain karena apa yang mereka usahakan.”

    Ayat ini menunjukkan keterkaitan moral antara rakyat dan pemimpinnya. Pemimpin zalim tidak mungkin lahir di tengah masyarakat yang menolak kezaliman. Artinya, kebodohan dan kelalaian moral masyarakat menjadi cermin yang memantulkan sifat pemimpinnya.

    ‎4. Transaksi Politik dan Krisis Etika Sosial

    ‎Ketika demokrasi direduksi menjadi mekanisme pasar bebas transaksional, nilai-nilai luhur bernegara perlahan tergerus. Politik kehilangan maknanya sebagai sarana mencari kebaikan bersama (bonum commune), dan berubah menjadi alat untuk mencari keuntungan pribadi.

    Dalam kondisi ini, suara rakyat bukan lagi ekspresi nurani, tetapi komoditas ekonomi. Kesetiaan politik dibangun bukan atas dasar nilai, tetapi atas dasar imbalan. Maka wajar bila yang lahir bukan negarawan, melainkan pedagang kekuasaan.

    Robert Putnam dalam Bowling Alone (2000) menyebut “Bahwa krisis kepercayaan publik adalah tanda kemerosotan civic virtue — kebajikan kewargaan”. Tanpa kebajikan ini, demokrasi menjadi rapuh, dan ruang publik kehilangan integritasnya.

    ‎5. Menuju Demokrasi yang Dewasa Secara Moral

    Menyalahkan pemimpin tanpa merefleksikan perilaku pemilih adalah bentuk ketidakjujuran intelektual. Pemimpin buruk hanyalah gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam — lemahnya etika publik, rendahnya literasi politik, dan ketidakpedulian terhadap kebenaran.

    Oleh karena itu, pembenahan demokrasi harus dimulai dari pendidikan politik rakyat. Demokrasi yang sehat memerlukan warga negara yang melek moral dan berpikir kritis. Bukan masyarakat yang mudah disuap janji, tetapi yang berani menuntut integritas.

    Demokrasi sejati bukan sekadar kebebasan memilih, tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab moral dari pilihan itu. Seperti dikatakan oleh Abraham Lincoln, “Ballot is stronger than bullet.” Suara rakyat adalah kekuatan moral, bukan alat tawar-menawar.

    Penutup

    Demokrasi tanpa moral hanyalah tirani yang disamarkan dengan suara mayoritas. Pemilih yang bodoh dan pragmatis akan melahirkan pemimpin yang bodoh dan zalim, sebagaimana air keruh tak dapat memantulkan cahaya.

    Jika rakyat menginginkan pemimpin yang berilmu dan berakhlak, maka rakyat itu sendiri harus menumbuhkan ilmu dan akhlak dalam dirinya. Sebab, seperti kata Plato, “Negara adalah bayangan dari jiwanya.” Ketika jiwa rakyat tercerahkan, maka kekuasaan pun akan menjadi cermin kebijaksanaan, bukan kezaliman.

    × Advertisement
    × Advertisement