Opinions

Demokrasi Setengah Tiang dan Hukum yang Mati Suri : Jebakan Onto-Epistemik Penegakan Hukum

1762752960751
Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di berbagai Media. Senin (10/11/2025). Foto Ist
Daftar Isian Bacaan+

    INSAN.NEWS || Sidrap,- 10 November 2025 – (Ketika hukum berhenti mencari kebenaran dan hanya berfungsi membenarkan kekuasaan, maka demokrasi tak lagi hidup hanya berdiri sebagai simbol yang berkibar setengah tiang)

    Kasus penetapan Roy Suryo cs oleh Polda Metro Jaya bukan sekadar perkara hukum, melainkan cermin ontologis dari wajah demokrasi kita hari ini. Di sana, hukum bukan lagi penjaga kebenaran, melainkan pelayan kekuasaan.

    Polisi, yang seharusnya menegakkan keadilan, justru terjebak dalam posisi epistemik yang menyalahi hakikatnya dan mengklaim kebenaran di wilayah yang bukan domainnya.

    Secara ontologis, hukum adalah entitas yang berdiri di atas rasionalitas publik dan moralitas keadilan. Ia bukan produk kekuasaan, melainkan pengejawantahan kesadaran moral bahwa manusia memiliki hak yang harus dilindungi tanpa pandang status atau jabatan.

    Namun di negeri ini, hukum sering kali tampil dalam bentuk prosedural tanpa jiwa menegakkan teks, tapi mengabaikan nilai.

    Ketika Wasit Ikut Bertanding: Moral yang Hilang dari Penegakan Hukum

    Dalam konteks kasus ini, Kapolda Metro Jaya terjebak dalam paradoks ontologis:

    “Antara fungsi penegakan hukum dan godaan politik kekuasaan. Polisi memang memiliki kewenangan untuk menyelidiki tindak pidana, tetapi tidak memiliki otoritas epistemik untuk menilai keaslian akademik suatu dokumen.

    Dengan menyatakan bahwa “ijazah itu sah dan asli,” kepolisian telah menempatkan diri sebagai penentu kebenaran akademik padahal secara ontologis, itu bukan wilayah eksistensinya”.

    ‎Inilah yang disebut sebagai dislokasi ontologis hukum, di mana hukum keluar dari rel keberadaannya dan kehilangan pijakan moralnya. Ia tidak lagi berfungsi sebagai ratio legis (akal keadilan), melainkan sebagai ratio imperium (akal kekuasaan).

    Dalam situasi semacam ini, hukum berhenti menjadi sistem rasional yang mencari kebenaran dan berubah menjadi perangkat simbolik untuk mempertahankan kekuasaan.

    Politik Panggung Depan dan Panggung Belakang dalam Penetapan Roy Suryo Cs sebagai Tersangka

    ‎Secara epistemik, krisisnya bahkan lebih dalam. Hukum semestinya bekerja berdasarkan prinsip verifikasi publik, segala tuduhan harus diuji secara objektif, berbasis bukti dan nalar ilmiah. Namun, dalam kasus Roy Suryo cs, proses hukum tampak berjalan terbalik:

    “Kebenaran telah ditetapkan terlebih dahulu, baru dicari pembenarannya”.

    Di sinilah terjadi fallacy epistemik yaitu kesalahan berpikir di mana lembaga penegak hukum mengklaim otoritas untuk menilai kebenaran ilmiah yang bukan bidangnya.

    Hukum yang idealnya bersifat netral dan berbasis rasionalitas kini bergeser menjadi mekanisme ideologis, di mana kebenaran diukur dari sejauh mana ia sesuai dengan narasi kekuasaan.

    ‎Seperti diingatkan Jürgen Habermas, krisis rasionalitas modern muncul ketika ruang publik berhenti menjadi arena dialog dan berubah menjadi panggung legitimasi politik. Hukum kita kini tampak berjalan di jalur itu:

    Ketika Putusan Mendahului Kebenaran: Satire atas Demokrasi yang Kehilangan Nalar

    “Bukan lagi mencari kebenaran, tapi menegaskan siapa yang berhak berbicara atas nama kebenaran”.

    Jika hukum kehilangan epistemologinya yakni metode ilmiah untuk membuktikan kebenaran maka ia akan kehilangan legitimasi moralnya. Demokrasi pun ikut lumpuh, karena hukum dan demokrasi saling menghidupi.

    Ketika hukum dibungkam, demokrasi kehilangan akalnya. Ketika kebenaran dikriminalisasi, keadilan menjadi mayat yang dirias dengan senyum prosedural.

    Kapolda Metro Jaya sesungguhnya ingin menunjukkan ketegasan hukum, tetapi tanpa disadari telah memperlihatkan bagaimana hukum dapat terperosok dalam jebakan onto-epistemik:

    “Secara ontologis kehilangan jati diri, dan secara epistemik kehilangan rasionalitasnya. Dalam kondisi seperti itu, hukum berhenti menjadi alat keadilan dan berubah menjadi instrumen kekuasaan”.

    ‎Penutup

    Demokrasi yang sehat membutuhkan hukum yang hidup, bukan hukum yang mati suri. Ia membutuhkan aparat yang berani menegakkan keadilan, bukan sekadar menjaga citra penguasa.

    Selama hukum masih tunduk pada politik, dan kebenaran masih dinilai dari siapa yang mengucapkannya, maka demokrasi hanya akan berkibar setengah tiang sebuah simbol duka bagi bangsa yang kehilangan nurani rasionalnya.

    ‎Hukum yang sejati tidak memihak, tidak takut, dan tidak tunduk. Ia berpihak hanya pada kebenaran yang bisa diuji, bukan kebenaran yang diatur. Dan di titik inilah, kebangkitan moral hukum harus dimulai kembali.

    ‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda ‎Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement