Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 21 November 2025 – Demokrasi Indonesia hari ini sedang menghadapi krisis moral dan struktural. Ironisnya, bukan karena kudeta militer atau represi rezim, melainkan karena diktatorisme partai yang tumbuh di bawah panji demokrasi.
Partai politik, yang seharusnya menjadi instrumen artikulasi dan agregasi aspirasi rakyat, justru menjelma menjadi alat kekuasaan privat milik segelintir elite. Di balik slogan demokrasi, tersembunyi sistem yang oligarkis, tertutup, dan berorientasi pada loyalitas personal kepada ketua umum.
Fenomena ini menunjukkan betapa demokrasi elektoral di Indonesia telah terkooptasi oleh kepentingan elit partai, sementara nilai-nilai etika dan ideologi Pancasila semakin redup dalam praktik politik sehari-hari.
1. Partai Politik: Dari Kedaulatan Rakyat ke Diktatorisme Elit
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Namun dalam praktiknya, kedaulatan tersebut sering “diserahkan” kepada segelintir elite partai. Padahal, menurut UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, partai diwajibkan memiliki mekanisme demokrasi internal yang transparan dan periodik.
Sayangnya, norma hukum ini sering kali hanya menjadi hiasan etis, tidak menjadi realitas politik. Ketua umum partai menjelma sebagai figur setengah-dewa yang memiliki hak prerogatif absolut dalam menentukan arah kebijakan, calon kepala daerah, hingga komposisi kepengurusan.
Demokrasi internal digantikan oleh loyalitas feodal. Kongres partai pun kerap sekadar seremoni legitimasi kekuasaan sang pemimpin.
Robert Michels dalam teorinya tentang “Iron Law of Oligarchy” menyebut bahwa setiap organisasi besar, termasuk partai politik, cenderung berujung pada oligarki karena efisiensi dan kepentingan kekuasaan segelintir elite.
Michels menulis, “Who says organization, says oligarchy.” Teori itu kini menemukan aktualisasinya paling sempurna dalam partai-partai besar Indonesia.
2. Oligarki Politik dan Feodalisme Modern
Jeffrey A. Winters (2011) dalam karyanya Oligarchy menegaskan bahwa oligarki bukan sekadar kekuasaan orang kaya, tetapi sistem di mana minoritas berkuasa karena mampu mengendalikan sumber daya strategis, baik ekonomi maupun politik. Di Indonesia, oligarki partai menjadi hibrida antara kekuasaan ekonomi dan kuasa politik yang saling menopang.
Ketua umum partai sering didukung oleh jaringan bisnis yang kuat, sementara kader-kader di bawahnya bergantung pada restu dan rekomendasi sang pemimpin.
Situasi ini menciptakan pola patronase vertikal yang menutup ruang meritokrasi. Akibatnya, muncul “kelas politik bayaran” yang bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemeliharaan status quo.
Feodalisme modern inilah yang membuat demokrasi kehilangan makna etisnya. Pancasila yang menekankan musyawarah, kebijaksanaan, dan keadilan sosial tergantikan oleh kalkulasi transaksional dan pragmatisme politik.
3. Diktatorisme Partai dan Krisis Etika Demokrasi
Ketika ketua umum memiliki kuasa mutlak tanpa mekanisme kontrol, maka yang lahir bukanlah demokrasi, melainkan diktatorisme terselubung. Di banyak partai besar, pemecatan kader kritis dan pengangkatan pejabat partai dilakukan secara sepihak. Tidak ada ruang musyawarah, tidak ada mekanisme checks and balances.
Fenomena ini jelas bertentangan dengan sila keempat Pancasila – Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Dalam sila ini, demokrasi tidak dimaknai sebagai kekuasaan mayoritas atau dominasi individu, tetapi sebagai proses kolektif yang mengedepankan kebijaksanaan dan tanggung jawab moral.
Soekarno sendiri, dalam pidato Lahirnya Pancasila (1 Juni 1945), menegaskan bahwa demokrasi Indonesia harus berjiwa gotong royong, bukan demokrasi liberal yang melahirkan individualisme ekstrem.
Namun, praktik politik kita hari ini justru melahirkan aristokrasi modern di tubuh partai, mereka yang berkuasa bukan karena suara rakyat, tetapi karena restu ketua umum.
4. Demokrasi yang Terpenjara: Oligarki dan Politik Transaksional
Dominasi ketua umum menciptakan efek domino terhadap sistem politik nasional. Kandidat kepala daerah atau legislatif tidak lagi ditentukan berdasarkan kapasitas atau rekam jejak, tetapi pada kemampuan finansial dan kedekatan personal. Fenomena ini memunculkan “demokrasi berbiaya tinggi” dan memperkuat political clientelism yang destruktif.
Sebagai akibatnya, korupsi politik menjadi endemik. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sebagian besar kasus korupsi politik melibatkan kader partai yang memperoleh posisi strategis melalui mekanisme patronase, bukan kompetisi terbuka. Demokrasi kehilangan moralitasnya; partai kehilangan ideologinya.
5. Revitalisasi Etika dan Ideologi Pancasila
Mereformasi partai tidak cukup hanya dengan revisi undang-undang. Diperlukan revolusi etika politik berbasis nilai-nilai Pancasila. Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga ruh moral demokrasi.
Etika politik Pancasila menolak absolutisme dan menegaskan bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan hikmah, musyawarah, dan keadilan sosial. Oleh karena itu:
1. Demokrasi internal partai harus diwajibkan secara substantif, bukan administratif. Pemilihan ketua umum dan pengurus wajib dilakukan secara terbuka, dengan periodisasi dan evaluasi moral.
2. Kaderisasi berbasis integritas dan kompetensi harus menggantikan politik balas jasa.
3. Pendidikan politik Pancasila wajib ditanamkan di setiap partai agar ideologi bangsa tidak sekadar menjadi simbol seremonial.
Hanya dengan cara itu, partai dapat kembali menjadi penyambung lidah rakyat, bukan alat kekuasaan elite.
Kesimpulan
Oligarki partai dan kekuasaan absolut ketua umum adalah bentuk baru dari diktatorisme politik yang bersembunyi di balik demokrasi elektoral. Demokrasi tanpa moral adalah kekosongan, sedangkan partai tanpa etika adalah mesin kekuasaan yang membunuh cita-cita republik.
Kita membutuhkan demokrasi yang berjiwa Pancasila: demokrasi yang tidak hanya menghitung suara, tetapi juga menimbang nurani.
Saatnya partai politik berhenti menjadi kerajaan kecil dan kembali menjadi rumah rakyat. Sebab ketika partai kehilangan moralitasnya, maka republik kehilangan rohnya.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


