(Bagian II dari seri “Demokrasi dan Logika yang Tertukar”) Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng Rappang,- 26 November 2025 – Kebodohan hari ini bukan sekadar ketidaktahuan, melainkan hasil produksi sistematis dari demokrasi digital yang menjadikan opini sebagai sumber pengetahuan, dan persepsi sebagai kebenaran.
Ia bukan kebodohan alami, melainkan kebodohan epistemik – lahir dari kesadaran palsu yang dibentuk oleh arus informasi yang tak lagi netral.
Di dunia yang dikuasai algoritma, kita tidak lagi mencari kebenaran, melainkan konfirmasi atas keyakinan kita sendiri. Media sosial menjadi ruang gema (echo chamber) yang memantulkan suara yang ingin kita dengar, bukan suara yang perlu kita pahami.
Di sinilah demokrasi digital menciptakan paradoks:
“Semakin banyak informasi yang tersedia, semakin dangkal pemahaman manusia terhadap realitas”.
Michel Foucault pernah berkata bahwa pengetahuan adalah bentuk kekuasaan. Namun kini, kekuasaanlah yang menentukan bentuk pengetahuan. Apa yang benar ditentukan bukan oleh rasio atau bukti, melainkan oleh siapa yang memiliki kendali atas algoritma dan narasi.
Dalam konteks ini, kebodohan bukanlah ketiadaan informasi, tetapi penolakan terhadap rasionalitas yang tidak menguntungkan.
Demokrasi digital mengajarkan kita cara berpendapat, tapi melupakan cara berpikir. Ia menumbuhkan keberanian berbicara, tapi mematikan kedalaman refleksi.
Akibatnya, publik dipenuhi para komentator kebetulan – orang-orang yang mengira pendapatnya adalah kebenaran mutlak hanya karena mendapat banyak “like”.
Di sini, epistemologi kebodohan bekerja dengan sempurna:
“Ia membuat orang merasa pintar tanpa perlu berpikir”.
Para politisi memanfaatkannya dengan lihai. Mereka tidak perlu lagi berdebat gagasan – cukup memproduksi simpati, kontroversi, dan viralitas.
Demokrasi digital memberi panggung bagi retorika emosional, bukan argumentasi rasional. Dengan sedikit manipulasi narasi, publik pun digiring percaya bahwa apa pun yang trending pasti benar.
Ironisnya, masyarakat yang dulu menolak propaganda negara, kini justru menikmati propaganda yang mereka bagikan sendiri. Kita menertawakan masa lalu yang dikontrol media tunggal, padahal kini kita hidup di era seribu media yang dikendalikan oleh satu mesin logika: engagement.
Epistemologi kebodohan akhirnya menjadi fondasi baru demokrasi digital: ketika kebohongan dianggap sebagai variasi kebenaran, dan penipuan sebagai strategi komunikasi.
“Ia melahirkan generasi yang melek teknologi tapi buta makna, aktif bersuara tapi pasif berpikir”.
Demokrasi yang berangkat dari cita-cita kebebasan berpikir kini terjebak dalam paradoks: semakin bebas, semakin kehilangan arah. Logika runtuh, rasionalitas layu, dan moral publik menguap dalam kabut algoritmik.
Dan mungkin, di titik inilah kita perlu bertanya ulang:
Apakah kita masih hidup dalam demokrasi – atau hanya dalam ilusi kebebasan yang dikendalikan oleh sistem yang lebih halus dari tirani?
Karena jika kebodohan sudah menjadi sistem pengetahuan, maka demokrasi tinggal menunggu saatnya menjadi sekadar nama tanpa jiwa.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


