Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 09 Desember 2025 – Ada saat ketika sebuah bangsa tidak runtuh karena perang, tidak roboh karena bencana, dan tidak tumbang karena kudeta.
Ia runtuh pelan-pelan, seperti tubuh yang kehilangan tulang belakangnya, tidak langsung mati, tetapi merayap menjadi makhluk lunak, tanpa arah, tanpa tegak, tanpa kehormatan.
Demikianlah Indonesia setelah dua tulang punggung ideologisnya yaitu identitas nasional dan haluan negara yang dipatahkan atas nama reformasi.
Penghapusan frasa “Indonesia asli” betapapun cacat secara hukum bukan sekadar koreksi atas diskriminasi;
“Ia adalah pembongkaran simbol ideologis yang dulu menjadi fondasi siapa umat politik bernama Indonesia itu”.
Dan penghapusan GBHN bukan sekadar modernisasi konstitusi tapi ia adalah amputasi atas “kompas arah sejarah” yang seharusnya mengikat lintasan bangsa, presiden, dan negara.
Indonesia tiba-tiba menjadi ruang kosong besar. Sebuah rumah tanpa tiang. Sebuah kapal tanpa haluan. Sebuah tubuh tanpa tulang. Sebuah bangsa yang melayang-layang di antara dua kutub yaitu pasar global dan kekuasaan global.
1. Krisis Identitas: Ketika Bangsa Tidak Lagi Mengerti Dirinya
Ketika frasa “Indonesia asli” disingkirkan dari konstitusi meskipun alasan legalnya benar negara justru membiarkan satu luka yaitu ketiadaan definisi identitas politik nasional.
Tubuh kewarganegaraan Indonesia tidak lagi punya batas epistemik siapa Indonesia, apa Indonesia, dan untuk apa Indonesia.
Reformasi mengira demokrasi bisa berdiri tanpa fondasi identitas.
Padahal demokrasi tanpa identitas hanyalah pasar suara, siapa yang punya uang, dia menang;
“Siapa punya yang modal, dia berkuasa”.
Bangsa yang tidak mengerti dirinya adalah bangsa yang mudah dijajah tanpa penjajahan.
2. Krisis Haluan: Negara Tanpa Kompas
Ketika GBHN dihapus, sesuatu yang lebih besar hilang karena ruh teleologis bangsa, arah, tujuan, intensi sejarah.
Sebelumnya negara punya satu garis besar haluan,
meski sering dipelintir Orde Baru, ia tetap menjadi kerangka kolektif ke mana Indonesia harus pergi.
Tanpa GBHN, presiden menjadi penguasa tunggal arah negara, lima tahun berganti presiden, lima tahun berganti haluan.
Negara tidak bergerak dalam garis sejarah melainkan negara berjalan seperti anak kecil yang setiap pagi memutuskan cita-cita baru, hari ini astronot, besok seleb TikTok, lusa dukun investasi.
Tanpa arah, negara menjadi mangsa. Dan negara tanpa peta hanyalah daratan terbuka bagi kapal asing mana pun yang berlabuh.
3. Infiltrasi Dua Penguasa Dunia: Ketika Kosong Diisi yang Kuat
Kosong adalah undangan. Dalam politik global, kekosongan ideologis adalah lubang hitam yang akan segera disesaki oleh siapa pun yang lebih kuat.
Maka dua raksasa datang:
1. Kapitalisme Liberal Amerika
Ia tidak datang sebagai penjajah, tetapi sebagai struktur;
”Deregulasi, privatisasi, demokrasi transaksional, dan kapital yang menguasai politik”.
Parlemen menjadi pasar lobi.
Pemilu menjadi kompetisi modal.
Kedaulatan menjadi ilusi hukum.
Kapitalisme Amerika menguasai dengan cara yang lebih elegan daripada kolonial:
“Bukan menguasai rakyat, tetapi mengatur institusi yang mengatur rakyat”.
2. Kapitalisme Negara Otoritarian ala China
China tidak datang dengan ideologi merah tahun 1960-an. Ia datang dengan pelabuhan, utang, kereta cepat, smelter, investasi, dan satelit teknologi pengawasan.
Ia tidak menaklukkan melalui senjata, tetapi melalui kecanduan:
”Kecanduan impor, kecanduan investasi, kecanduan raw material, kecanduan modal murah”.
China menguasai bukan lewat propaganda;
“Ia mengikat lewat ketergantungan”.
Dan Indonesia tanpa identitas dan tanpa haluan berputar di antara dua gravitasi ini seperti bulan yang kehilangan orbitnya.
4. Negara yang Terseret Dua Kekuatan Kolonialisme Baru Tanpa Kapal Perang
Kolonialisme zaman dulu memakai senapan dan bendera. Kolonialisme hari ini memakai pasar global, teknologi digital, investasi, utang, diplomasi, algoritma
Ketika dua raksasa dunia menarik Indonesia dari dua sisi, apa yang tersisa dari bangsa yang kehilangan kompas?
Yang tersisa hanyalah negara yang secara formal merdeka tetapi secara substansial terseret, tidak kuasa menentukan jalannya sendiri.
Mereka tidak perlu menjajah Indonesia.
Mereka hanya perlu menunggu Indonesia berjalan mengikuti kebutuhan mereka.
Bangsa yang hilang diri tidak perlu ditaklukkan;
“Ia tinggal diarahkan”.
5. Bangsa yang Kehilangan Ruh:
“Pancasila Menjadi Poster, Bukan Panduan”.
Pancasila berubah menjadi mantra kosong. Ia diucapkan sebagai formalitas, bukan sebagai filsafat negara.
Ia diperingati dalam upacara, bukan ditanam dalam kebijakan. Ia dipajang di dinding kelas, bukan dijalankan dalam ekonomi politik.
Pancasila menjadi ornamen, bukan orientasi. Dan ideologi yang hanya menjadi ornamen akan kalah dari ideologi yang menjadi mesin kekuasaan.
6. Kesimpulan:
“Indonesia dalam Krisis “Diri”.
Jika Indonesia hari ini tampak goyah, mudah disetir, mudah dipengaruhi, mudah terombang-ambing, itu bukan karena asing terlalu kuat melainkan karena kita terlalu kosong.
Indonesia tidak diserang;
“Indonesia dibiarkan kehilangan arah”.
Dan bangsa yang kehilangan arah adalah bangsa yang sedang perlahan menghabisi dirinya sendiri.
Kita telah merdeka dari penjajah, tetapi kita belum merdeka dari kehampaan ideologi yang kita ciptakan sendiri.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


