Opinions

Ketika 61,6% Lulusan SD ke Bawah Menjadi Penentu Kemenangan Demokrasi Liberal: Membaca Ulang Masa Depan Negara

IMG 20251103 WA0016
‎Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di Berbagai Media. Senin (22/12/2025). Foto Barsa

Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang

INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- Senin 22 Desember 2025 – Angka 61,6% rakyat lulusan SD ke bawah bukan sekadar statistik pendidikan;

‎”Ia adalah fakta politik yang menentukan arah demokrasi liberal Indonesia”.

‎Dalam sistem satu orang satu suara, kuantitas mengalahkan kualitas deliberasi. Demokrasi liberal, yang secara normatif diasumsikan ditopang oleh warga rasional dan berpengetahuan, justru beroperasi di atas basis sosial yang rentan terhadap manipulasi emosi, simbol, dan politik instan.

‎Masalahnya bukan pada rakyat berpendidikan rendah itu sendiri, melainkan pada sistem yang gagal menjadikan pendidikan sebagai fondasi demokrasi.

Meniti Jalan Sunyi, Menyelami Kebeningan Mata Air Pengkaderan

Ketika negara abai pada pemerataan mutu pendidikan, demokrasi berubah dari ruang deliberasi menjadi arena mobilisasi naluri. Politik pun bergeser:

‎”Bukan adu gagasan, melainkan adu slogan, bansos, dan ketokohan semu. Di titik ini, yang menang bukan kebenaran, tetapi efektivitas propaganda”.

‎Plato pernah mengingatkan bahwa demokrasi tanpa pendidikan akan melahirkan kekuasaan kaum demagog. Aristoteles lebih tegas:

‎”Negara yang baik mensyaratkan warga yang berkeutamaan (virtue)”.

‎Dalam konteks Indonesia, demokrasi liberal yang berjalan di atas ketimpangan pengetahuan berisiko melahirkan oligarki elektoral – di mana elite bermodal mengendalikan massa yang secara struktural dilemahkan.

Demokrasi dan Urgensi Kemampuan Argumentasi: Fondasi Epistemik Bagi Kebijaksanaan Politik ‎

‎Membaca ulang masa depan negara berarti mengakui paradoks ini. Demokrasi tidak cukup diselamatkan dengan prosedur pemilu lima tahunan.

Ia harus diasuh oleh politik pendidikan jangka panjang, literasi publik, dan etika kekuasaan. Tanpa itu, angka 61,6% bukan kekuatan rakyat, melainkan celah sistemik yang terus dieksploitasi.

‎Masa depan negara bergantung pada satu pilihan mendasar:

‎”Menjadikan pendidikan sebagai jantung demokrasi, atau membiarkan demokrasi terus berjalan tanpa kesadaran – ramai, sah, tetapi rapuh”.

‎Peran kaum cerdik pandai seperti akademisi, intelektual, guru, peneliti, ulama, dan profesional berpengetahuan, menjadi penentu nasib negara ketika demokrasi liberal terjebak pada logika angka tanpa nalar. Mereka bukan sekadar pengamat, melainkan penjaga rasionalitas publik.

Rahim Perempuan Dijarah, Peradaban Diperkosa

‎Setidaknya ada tujuh peran strategis untuk mengokohkan kembali demokrasi deliberatif yang diasuh oleh argumentasi dan akal sehat.

‎1. Produsen Makna, Bukan Pengikut Opini

‎Kaum cerdik pandai harus berhenti menjadi komentator reaktif. Tugas utama mereka adalah memproduksi kerangka berpikir:

“Menjelaskan sebab-akibat kebijakan, membongkar ilusi politik populer, dan memberi bahasa yang jujur atas realitas”.

‎Demokrasi deliberatif hidup dari reason-giving, bukan noise-following.

‎2. Penerjemah Ilmu ke Bahasa Rakyat

‎Pengetahuan yang elitis justru memperkuat populisme. Intelektual wajib menjadi jembatan kognitif yang mampu menerjemahkan teori ekonomi, hukum, dan politik ke dalam bahasa yang dapat dipahami publik luas tanpa merendahkannya. Demokrasi deliberatif menuntut inklusivitas rasional, bukan eksklusivitas akademik.

‎3. Pembangun Ruang Deliberasi Alternatif

‎Ketika parlemen dan media arus utama gagal menjadi arena nalar, kaum cerdik pandai harus menciptakan ruang baru seperti forum warga, diskusi komunitas, kelas literasi politik, hingga platform digital berbasis argumen. Di sinilah akal sehat dirawat, dilatih, dan diwariskan.

‎4. Pengganggu Etis Kekuasaan

‎Intelektual sejati bersifat troublesome. Mereka hadir sebagai pengganggu yang sah terhadap kebohongan negara dan banalitas kekuasaan. Diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan intelektual. Demokrasi deliberatif membutuhkan kritik yang berani dan konsisten, bukan netralitas palsu.

‎5. Penjaga Standar Kebenaran

‎Dalam banjir disinformasi, kaum cerdik pandai harus menjadi otoritas epistemik, harus membedakan fakta dari opini, data dari sensasi, kritik dari fitnah. Tanpa standar kebenaran, deliberasi berubah menjadi debat kusir dan demokrasi runtuh menjadi kerumunan.

‎6. Pendidik Warga, Bukan Pencetak Pemilih

‎Tugas pendidikan politik bukan memenangkan kandidat, tetapi mematangkan warga. Kaum cerdik pandai harus menggeser orientasi dari electoral literacy menuju civic reasoning:

“Melatih warga bertanya “mengapa” sebelum “siapa”.

7. Penolak Kooptasi Oligarki

‎Demokrasi deliberatif tak akan tumbuh bila kaum terdidik menjual akalnya kepada modal dan kekuasaan. Peran paling sunyi namun menentukan adalah menolak menjadi legitimasi akademik bagi kebijakan busuk. Integritas intelektual adalah benteng terakhir negara.

Penutup: Intelektual sebagai unni Penjaga Masa Depan

‎Jika kaum cerdik pandai menyerah, negara akan sepenuhnya dikuasai oleh logika massa dan uang. Tetapi bila mereka bertahan, mengajar, mengkritik, menjelaskan, dan berdialog maka demokrasi masih bisa diselamatkan.

‎Demokrasi deliberatif tidak lahir dari suara terbanyak, melainkan dari argumen terbaik. Dan di situlah kaum cerdik pandai dipanggil bukan untuk memerintah, tetapi menjaga akal sehat republik.

INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

× Advertisement
× Advertisement