Oleh : Dr. Buhari Fakkah, M.Pd – Dosen UMS Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 11 November 2025 – Dalam panggung filsafat hukum dan demokrasi, tragedi paling ironis bukan ketika hukum gagal menemukan kebenaran, tetapi ketika kesimpulan sudah diputuskan bahkan sebelum perdebatan dimulai.
Pada titik itu, demokrasi berhenti menjadi ruang dialektika dan berubah menjadi panggung sandiwara kepastian semu di mana aktor-aktor kekuasaan berpura-pura menegakkan hukum, padahal mereka sekadar mengukuhkan keputusan yang telah diskenariokan.
Secara ontologis, hukum kehilangan “ada”-nya sebagai penjaga kebenaran objektif dan berubah menjadi instrumen retoris yang tunduk pada kehendak kekuasaan. Ia tidak lagi hidup dari nilai-nilai keadilan (justitia), tetapi dari perintah-perintah politis yang disamarkan dengan prosedur formal.
Ketika substansi hukum dipaksa mengikuti arah angin politik, maka yang tersisa hanyalah bentuk tanpa jiwa, teks tanpa roh, dan keadilan tanpa nurani.
Sementara secara epistemik, keputusan yang lebih dulu ditetapkan sebelum argumen dikaji merupakan bentuk anti-ilmu pengetahuan. Dalam logika epistemologi, kebenaran lahir dari proses yaitu pertanyaan → analisis → konfirmasi → kesimpulan.
Namun dalam praktik hukum yang terpolitisasi, alur ini dibalik kesimpulan dulu, bukti kemudian. Maka yang tersisa bukan epistemologi hukum, melainkan dogmatisme kekuasaan yang menutup ruang kritik dan rasionalitas.
Fenomena ini menyingkap paradoks besar demokrasi modern:
“Ia berbicara tentang kedaulatan rakyat, namun bertindak seolah rakyat tidak perlu berpikir”.
Demokrasi yang seharusnya menjadi arena pertarungan argumen kini menjadi ritual pembenaran kekuasaan, di mana suara logika dikalahkan oleh suara politik.
Pada akhirnya, filsafat hukum menuntun kita pada satu refleksi getir:
“Ketika kesimpulan sudah lebih dulu diputuskan, maka hukum bukan lagi upaya mencari kebenaran, melainkan cara paling rapi untuk menyembunyikannya.”
Tentang Penulis:
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


