Opinions Politik

Lalat – Lalat Demokrasi ‎ ‎Mereka Tak Membuat Undang-Undang, Tapi Menggerogoti Nilai-Nilai Yang Membentuknya

1760250256774
Lalat - Lalat Demokrasi : ‎Mereka tak membuat undang-undang, tapi menggerogoti nilai-nilai yang membentuknya. ‎ ‎Oleh: Buhari Fakkah ‎
Daftar Isian Bacaan+

    Oleh Buhari Fakkah

    INSAN.NEWS || Sidenreng Rappang – 12 Oktober – 2025 – Demokrasi Indonesia hari ini seperti meja makan besar yang ramai tapi kian kotor. Di atasnya tersaji berbagai hidangan politik: pembangunan, stabilitas, dan slogan “kerja, kerja, kerja.” Namun di sela aroma keberhasilan itu, ada lalat-lalat kecil yang beterbangan tidak besar, tapi cukup menjijikkan untuk mengingatkan kita bahwa sesuatu sedang membusuk.

    ‎Lalat Kekuasaan

    Jenis pertama adalah lalat yang menyukai aroma kekuasaan. Mereka bukan pembela demokrasi, melainkan penikmatnya. Dari ruang parlemen hingga lingkaran istana, ada wajah – wajah yang menampilkan kesetiaan, tapi di baliknya menanti kesempatan menikmati gula jabatan dan proyek. Mereka berkata “demi rakyat”, tapi setiap langkahnya adalah perhitungan keuntungan. Demokrasi yang seharusnya arena gagasan kini berubah menjadi pasar politik, di mana suara dijual dan dukungan ditukar dengan posisi.

    ‎Kemudian muncul jenis baru yaitu lalat digital. Mereka beterbangan di media sosial, menyebarkan opini yang disamarkan sebagai kebenaran. Para buzzer, akun anonim, dan pasukan siber membuat batas antara fakta dan propaganda kian kabur.

    ‎Ruang publik kini bising, bukan karena debat gagasan, tapi karena serangan tagar dan fitnah politik. Di tangan lalat digital, demokrasi menjadi teater algoritma tempat di mana yang paling berisik dianggap paling benar.

    Lalat Oligarki

    Ada pula lalat yang tak bersayap tapi berkuasa yaitu para pemilik modal. Mereka tidak tampil di panggung politik, namun berdiri di belakang layar, mengatur naskah dan sutradara. Kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat kecil sering kali diarahkan untuk menyenangkan pemodal besar. Inilah lalat oligarki mereka tak pernah ikut pemilu, tapi selalu menang dalam setiap pemerintahan.

    Ironinya, sebagian lalat juga lahir dari rakyat. Demokrasi tidak akan bersih jika rakyatnya malas berpikir. Saat pilihan ditentukan oleh uang, bukan gagasan; oleh janji, bukan rekam jejak, kita turut menyuburkan busuknya sistem.

    ‎Demokrasi yang sehat membutuhkan rakyat yang sadar dan paham politik, bukan sekadar pragmatis. Karena pemimpin lahir dari cermin masyarakatnya. Bila cerminnya buram, wajah bangsa pun takkan pernah jelas.

    ‎Demokrasi yang Kehilangan Rasa

    Setiap Pemerintahan  tak bisa dipungkiri berhasil menghadirkan pembangunan infrastruktur dan stabilitas politik. Namun demokrasi bukan hanya soal beton dan jalan tol. Demokrasi adalah ruang kritik yang bebas, media yang berani, dan rakyat yang tak takut bersuara. Ketika kritik dianggap ancaman dan media lebih sibuk menyanjung, maka lalat-lalat demokrasi akan terus berpesta di atas meja kekuasaan.

    Lalat kebodohan dan awam

    Dosen Muhammadiyah Sidrap: Karakter Pemilih Terbaca dari Motif Politiknya

    ‎Dalam prakteknya, demokrasi liberal selalu ditentukan dengan jumlah kepala bukan isi kepala. Akibatnya adalah mayoritas kelompok awam dengan modal BLT atau BANSOS  terbeli oleh para komprador oligarkis.

    Kebodohan dan awan dipelihara sedemikian rupa utk merawat asa populisme yang manipulatif. Kebodohan dan awam adalah kelompok yg sangat emosional secara personal kepada figur tertentu ketika perut mereka terganjal.

    ‎Inilah LALAT demokrasi yg paling berbahaya sebab kolaborasi apik antara figur penguasa dengan sejumlah ustaz kampung yang juga sama lapar dengan si awam nya sehingga awam adalah ternak dan ustaz adalah peternaknya

    Penutup:

    Siapa yang Membersihkan Meja?

    ‎Membersihkan demokrasi bukan tanggung jawab presiden semata. Itu tanggung jawab semua warga negara seperti jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan rakyat biasa.

    ‎Jika kita diam, lalat-lalat itu akan terus datang dan kita hanya akan menonton demokrasi yang membusuk pelan-pelan.

    “Demokrasi tidak mati karena musuhnya, tetapi karena lalat-lalat kecil yang kita biarkan hidup di dalamnya.”

    ‎Tentang Penulis:

    ‎Buhari Fakkah adalah aktivis dan pemerhati sosial-politik, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang. Aktif menulis isu demokrasi, etika publik, dan refleksi sosial di berbagai media daring.

    × Advertisement
    × Advertisement