Oleh: Buhari Fakkah (Dosen UMS Rappang) Aktivis Dan Pemerhati Sosial – Politik
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 03 November 2025 – Di tengah riuhnya pesta demokrasi dan derasnya arus pragmatisme politik, kita menyaksikan satu ironi besar: “Demokrasi Indonesia yang lahir dari rahim Pancasila justru terseret dalam pusaran liberalisme politik dan budaya kutu loncat”.
Fenomena ini bukan sekadar gejala politik, melainkan krisis etika kenegaraan. Ia memperlihatkan bahwa demokrasi kita kehilangan arah kebijaksanaan yang menjadi inti dari sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Demokrasi yang Tersesat: Ketika Rakyat Menjadi Angka dan Kekuasaan Menjadi Komoditas
Demokrasi liberal yang kini merasuki ruang politik nasional sering kali menafsirkan kedaulatan rakyat secara sempit, suara terbanyak dianggap kebenaran mutlak. Padahal, seperti dikatakan oleh Soekarno, demokrasi yang tidak disertai “Hikmat kebijaksanaan” hanya akan melahirkan “kekuasaan tanpa moral.”
Politik liberal menjadikan demokrasi sekadar pasar kekuasaan tempat suara diperjualbelikan dan prinsip dinegosiasikan. Rakyat bukan lagi subjek deliberasi, melainkan objek legitimasi. Dalam konteks ini, demokrasi kehilangan rohnya, karena kebebasan yang tidak dibimbing oleh tanggung jawab moral hanyalah bentuk lain dari anarki politik.
Budaya Kutu Loncat: Wajah Oportunisme dalam Demokrasi Liberal
Fenomena politisi “kutu loncat” yang dengan mudah berpindah partai demi peluang kekuasaan adalah potret paling jujur dari rapuhnya etika politik bangsa. Kesetiaan ideologis digantikan oleh kalkulasi elektoral, dan idealisme digadaikan demi jabatan.
Menurut Notonagoro, Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga “etika hidup bernegara” yang menuntut kesetiaan pada kebenaran dan keadilan. Maka, perilaku kutu loncat sejatinya adalah pengkhianatan terhadap sila keempat karena musyawarah dan kebijaksanaan menuntut kejujuran, konsistensi, dan loyalitas pada nilai bersama, bukan sekadar kepentingan pribadi.
Fenomena ini adalah anak kandung dari liberalisme politik yang permisif. Di bawah logika liberal, kebebasan individu diutamakan di atas tanggung jawab sosial. Maka wajar bila partai politik kehilangan karakter ideologis dan menjadi sekadar kendaraan elektoral. Demokrasi berubah menjadi panggung mobilitas pragmatis, bukan ruang pembentukan kebijaksanaan publik.
Etika Demokrasi Pancasila vs Logika Demokrasi Liberal
Dalam demokrasi liberal, kebenaran ditentukan oleh suara terbanyak. Namun dalam demokrasi Pancasila, kebenaran ditentukan oleh hikmat kebijaksanaan. Inilah perbedaan mendasar antara sistem yang berakar pada rasionalitas sekuler dengan sistem yang berakar pada etika spiritual bangsa.
Nurcholish Madjid pernah mengingatkan bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab moral hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam tirani hawa nafsu. Karena itu, demokrasi Indonesia harus dibangun bukan di atas ego individu, melainkan di atas nilai kolektif yang berakar pada keadilan, kejujuran, dan musyawarah.
Etika demokrasi Pancasila menghendaki bahwa setiap keputusan politik harus memuliakan martabat manusia. Ia bukan soal menang atau kalah, tetapi soal benar atau salah. Ia menuntut hikmah yakni kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran moral dan akal sehat, bukan sekadar kalkulasi elektoral.
Musyawarah sebagai Jalan Etis Politik Kebangsaan
Musyawarah dalam sila keempat bukanlah sekadar mekanisme politik, tetapi sistem etika kolektif yang menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara aspirasi dan kebijaksanaan. Ia menolak absolutisme mayoritas sekaligus menolak liberalisme tanpa nilai.
Kita perlu kembali pada pesan Soekarno ketika merumuskan Pancasila:
“Demokrasi Indonesia bukan demokrasi Barat yang individualistik, tetapi demokrasi gotong royong di mana hikmat kebijaksanaan memimpin jalannya permusyawaratan.”
Artinya, demokrasi kita harus bertumpu pada semangat kekeluargaan, bukan kompetisi brutal. Musyawarah mufakat adalah bentuk paling luhur dari rasionalitas moral bangsa; di situlah kedaulatan rakyat dijalankan dengan penuh tanggung jawab spiritual.
Menjaga Ruh Pancasila dari Reruntuhan Liberalisme
Demokrasi tanpa etika adalah kehancuran yang ditunda. Ketika para pemimpin beralih partai seperti mengganti pakaian, ketika rakyat dipandang sekadar angka elektoral, dan ketika kekuasaan dijadikan alat memperkaya diri, maka sejatinya yang terkubur bukan hanya moral politik, tetapi juga ruh Pancasila itu sendiri.
Karena itu, bangsa ini perlu melakukan revolusi etika sebagai sebuah gerakan moral untuk mengembalikan politik pada nilai kebijaksanaan. Politik yang berorientasi pada kebenaran, bukan kemenangan. Politik yang memuliakan rakyat, bukan memperalat mereka.
Penutup
Liberalisme politik dan budaya kutu loncat adalah dua wajah dari krisis yang sama: “Hilangnya etika dalam demokrasi”. Pancasila, khususnya sila keempat, mengajarkan bahwa kedaulatan rakyat sejati hanya lahir dari musyawarah yang dibimbing oleh kebijaksanaan dan tanggung jawab moral.
Jika bangsa ini ingin tetap tegak sebagai negara yang beradab, maka demokrasi harus dikembalikan ke rel etika Pancasila bukan liberalisme Barat, bukan oportunisme kutu loncat, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


