Oleh Baharuddin Hafid (Akademisi Universitas Megarezky Makassar)
INSAN.NEWS || Makassar,- Selasa 23 Desember 2025 – Nama Niccolò Machiavelli kerap dijadikan sebagai kambing hitam dalam diskursus politik. Ia dituduh melegitimasi kebohongan, pengkhianatan, dan kekerasan demi kekuasaan. Istilah Machiavellian bahkan telah menjadi sinonim bagi kemunafikan politik.
Namun, pembacaan yang terlalu cepat terhadap Machiavelli – khususnya melalui Il Principe – sering kali menutup sisi lain yang justru penting:
”Machiavelli bukan perayap kegelapan moral, melainkan analis telanjang tentang realitas kekuasaan”.
Dalam Il Principe, Machiavelli menulis bahwa penguasa tidak selalu bisa, dan bahkan tidak seharusnya, bertindak sesuai kebajikan moral konvensional. Pernyataan ini kerap disalahpahami sebagai ajakan untuk munafik.
Padahal, Machiavelli sedang memotret fakta keras politik Italia abad ke-16 yang terpecah, rapuh, dan dikepung intrik.
Ia berbicara tentang come si vive, bukan come si dovrebbe vivere – bagaimana manusia hidup, bukan bagaimana seharusnya mereka hidup. Di titik ini, Machiavelli tampil sebagai realis politik, bukan guru moral.
Kemunafikan politik dalam kacamata Machiavelli bukanlah kebajikan, melainkan alat. Ia sadar bahwa kekuasaan beroperasi di ruang di mana persepsi sering kali lebih menentukan daripada kebenaran.
Maka, penguasa “harus tampak” bermoral, adil, dan religius – meski dalam praktiknya ia harus siap melanggar semua itu demi kelangsungan negara.
Ini bukan pembelaan atas kebohongan, melainkan pengakuan pahit bahwa politik adalah arena konflik kepentingan, bukan ruang kesalehan personal.
Namun, sisi lain Machiavelli sering luput:
“Komitmennya pada republik dan kebebasan sipil”.
Dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli justru memuji republik, hukum, dan partisipasi warga.
Ia mengkritik tirani yang rapuh dan menilai bahwa kebebasan hanya bisa dijaga oleh institusi yang kuat dan warga yang waspada. Artinya, Machiavelli tidak sedang meromantisasi penguasa licik;
”Ia memperingatkan bahaya jika kekuasaan diserahkan pada moralitas naif tanpa pengaman institusional”.
Di sinilah relevansinya hari ini. Politik modern kerap memamerkan wajah moral di panggung publik, sambil mengelola kepentingan di belakang layar. Kita mudah mengecamnya sebagai kemunafikan, tetapi jarang bertanya:
“Apakah kemunafikan itu lahir dari karakter individu, atau dari desain sistem yang menuntut kompromi terus-menerus”?
Machiavelli akan menjawab:
”Tanpa institusi yang membatasi kekuasaan, kemunafikan menjadi niscaya”.
Moralitas personal tidak cukup untuk menahan godaan kekuasaan. Menimbang Machiavelli secara adil berarti menolak dua ekstrem:
”Mengutuknya sebagai iblis politik, atau memujanya sebagai pembenar segala cara. Ia lebih tepat dibaca sebagai cermin yang jujur – dan karena itu tidak nyaman – tentang politik sebagaimana adanya”.
Cermin itu memaksa kita bertanya:
”Apakah kita ingin politik yang tampak suci namun rapuh, atau politik yang realistis namun terkendali oleh hukum dan etika publik”?
Pada akhirnya, Machiavelli mengajarkan satu pelajaran penting:
“Bahaya terbesar bukanlah penguasa yang sadar akan kegelapan politik, melainkan masyarakat yang menolak melihatnya”.
Tanpa kewaspadaan publik dan institusi yang kuat, kemunafikan bukan sekadar strategi – ia berubah menjadi watak permanen kekuasaan.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


