Mungkinkah Hilirisasi Batu Bara Jokowi Terancam Gagal dengan Mundurnya Amerika, Ini Pemicunya!

oleh -794 Dilihat
oleh
Batu Bara
Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengungkapkan, terdapat dua faktor yang bisa membuat program hilirisasi batu bara di Tanah Air sulit direalisasikan. Dua faktor tersebut yakni keekonomian dan teknologi. Foto; Pertambangan Batu Bara
banner 1000250

Insan.news || Jakarta  – Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) menilai proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) kemungkinan cukup sulit dikembangkan di Indonesia.

Hal tersebut terbukti dengan mundurnya perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc, dari proyek kerja sama hilirisasi batu bara dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).

Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengungkapkan, terdapat dua faktor yang bisa membuat program hilirisasi batu bara di Tanah Air sulit direalisasikan. Dua faktor tersebut yakni keekonomian dan teknologi.

Menurut Djoko, apabila dilihat dari keekonomian, harga batu bara saat ini tergolong cukup tinggi untuk proyek gasifikasi. Sehingga, kemungkinan hal tersebut yang menjadi salah satu pertimbangan bagi Air Products untuk tidak melanjutkan kembali proyek ini.

“Di masa lalu DME sudah dibuat feasibility study oleh pihak Air Products dan PTBA, tetapi pada saat dibuat harganya masih rendah, sehingga sekarang dengan harga US$ 180 per ton ini masih mahal. Dulu waktu dibuat itu kira-kira masih 1/9 harga batu bara ya sekitar US$ 27-28 per ton,” ungkap Djoko, Kamis (16/3/2023).

Oleh sebab itu, keekonomian daripada proyek tersebut masih dipertanyakan. Ditambah lagi, lanjutnya, terdapat suatu perubahan dari tradisi tambang batu bara menuju industri petrokimia yang berdampak pada perubahan dari cara bekerja.

“Ini yang mungkin merupakan tantangan kalau memang teknologinya belum terlalu familiar dengan kita, sehingga pada dasarnya ketakutan ini akan membuat proyek itu akan sukar berkembang dan sukar dalam pendanaannya,” kata Djoko.

Hal senada sempat diungkapkan Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia. Hendra mengungkapkan, dari pihak investor yang ingin berinvestasi, proyek hilirisasi batu bara terganjal aspek keekonomian. Dia mengungkapkan keekonomian masih menjadi tantangan utama dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.

“Dipersepsikan oleh pihak investor bahwa aspek keekonomian dari proyek gasifikasi batu bara masih menjadi tantangan,” ucapnya, Jumat (10/3/2023).

Hendra mengatakan, aspek keekonomian ini masih sulit dicapai, terutama karena faktor pendanaan. Seperti diketahui, saat ini proyek berbasis batu bara sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan atau pun lembaga keuangan internasional karena dianggap sebagai sumber energi kotor dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Akibatnya, investasi menjadi mahal.

Baca;  Kepala Desa hingga Dusun Mulai Dikumpul, Diduga Soal Dukungan Calon Pilkada Bulukumba

Selain itu, lanjutnya, biaya teknologi proyek ini pun masih terbilang mahal.

“Aspek keekonomian itu mencakup banyak hal, sulitnya pendanaan untuk proyek-proyek berbasis batu bara membuat investasi jadi lebih mahal, apalagi teknologinya juga terhitung mahal,” tambahnya.

Dia mengungkapkan hambatan lain dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia adalah konsistensi regulasi fiskal dan non-fiskal. Hal ini disebutkan bahwa proyek hilirisasi batu bara merupakan proyek yang sifatnya jangka panjang.

“Proyek juga bersifat jangka panjang, sehingga membutuhkan konsistensi regulasi termasuk dukungan fiskal dan non-fiskal,” bebernya.

Dia juga menilai, harga jual hasil produk hilirisasi batu bara juga perlu diatur. Lalu, harus ada juga kepastian terkait pembeli produknya.

Sementara itu, Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite sempat mengungkapkan, mundurnya Air Products dari proyek gasifikasi batu bara di RI karena belum disepakatinya skema bisnis dan juga aspek keekonomian antara perusahaan AS dengan konsorsium perusahaan Indonesia.

“Yang terjadi antara PTBA dan Air Products itu skema bisnis yang mungkin belum ketemu aspek keekonomian dan sebagainya,” ungkapnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (09/03/2023).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *