INSAN.NEWS || Jakarta – Praktik penempatan perwira aktif Polri di berbagai jabatan sipil kementerian dan lembaga pemerintahan kembali menuai kontroversi. Banyak pihak menilai langkah ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan prinsip netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Rahman Azhar, peneliti Prolog Initiatives, secara terang-terangan mengkritisi kebijakan ini dan menyebutnya sebagai strategi yang merusak profesionalisme ASN serta mengaburkan batas kewenangan institusi kepolisian.
“Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 sudah jelas bahwa fungsi kepolisian berbeda dari birokrasi pemerintahan. Ketika perwira aktif Polri menduduki jabatan sipil, kita bukan hanya bicara soal penyimpangan administratif, tapi juga potensi konflik kepentingan yang sangat serius” ujarnya, sabtu (17/05/2025)
Menurut Azhar, aturan yang ada sebenarnya sudah cukup tegas, bahwa Undang-Undang Nonor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyatakan bahwa perwira aktif yang ingin menduduki jabatan sipil harus terlebih dahulu pensiun atau mengundurkan diri. Tetapi dalam praktiknya, banyak perwira yang justru tetap bertugas di kementerian tanpa mematuhi mekanisme ini.
“Ini bentuk akrobat hukum. Frasa berhenti atau pensiun seharusnya menjadi norma utama, bukan sekadar opsi administratif yang bisa dimanipulasi dengan dalih penugasan. Akhirnya, regulasi hanya jadi formalitas tanpa pengawasan yang ketat” tegasnya.
Selain bertentangan dengan UU Polri, Azhar juga mengingatkan bahwa penempatan perwira aktif ke posisi sipil mencederai prinsip single line of accountability yang dianut dalam UU Administrasi Pemerintahan.
“Polisi aktif yang merangkap jabatan sipil memiliki dua atasan: Kapolri dan menteri teknis. Ini berpotensi menciptakan loyalitas ganda serta rawan konflik kepentingan, terutama ketika ada kasus korupsi di kementerian tersebut. Apakah polisi yang menjabat di sana akan menindak tegas atau justru menutupinya?” sindirnya.
Tak hanya itu, Azhar menyebut bahwa kebijakan ini juga merusak meritokrasi ASN. Ia menilai bahwa jabatan pimpinan tinggi (JPT) adalah puncak karier birokrat yang seharusnya diperoleh melalui seleksi terbuka berbasis kompetensi.
“Ketika kursi JPT diserobot oleh aparat bersenjata yang tidak mengikuti seleksi terbuka, moral ASN turun, reformasi birokrasi mundur, dan publik kehilangan pelayanan yang profesional. Ini jelas bukan solusi yang sehat bagi administrasi pemerintahan” kritiknya.
Menurutnya, langkah-langkah ini bukan hanya akan memastikan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga menjaga netralitas Polri serta membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
“Taat hukum, bukan akrobat hukum. Jika reformasi birokrasi benar-benar mau ditegakkan, praktik ini harus dihentikan sekarang juga” pungkasnya.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda
Follow Berita InsanNews di Google New