Oleh: Baharuddin Hafid (Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar)
INSAN.NEWS || Makassar,- 12 November 2025 – Penetapan Roy Suryo Cs sebagai tersangka kembali menegaskan bahwa dalam politik Indonesia, tidak ada peristiwa hukum yang sepenuhnya steril dari aroma politik.
Dalam bahasa Erving Goffman, sosiolog yang memperkenalkan teori dramaturgi, politik sering kali berjalan di dua ruang berbeda:
“Panggung depan (front stage) dan Panggung belakang (back stage). Keduanya memiliki logika dan kepentingan masing-masing yang terkadang bertolak belakang”.
Panggung Depan: Hukum sebagai Pertunjukan Keadilan
Di panggung depan, publik disuguhi narasi bahwa proses hukum berjalan sesuai prosedur dan prinsip keadilan. Penegakan hukum ditampilkan sebagai bentuk konsistensi negara terhadap siapa pun yang melanggar aturan – tidak peduli status sosial, jabatan, atau popularitas.
Dalam konteks kasus Roy Suryo Cs, publik mendengar tentang prosedur penyelidikan, bukti digital, dan pasal-pasal yang disangkakan. Semua terlihat transparan dan objektif.
Namun, panggung depan hanyalah bagian dari pertunjukan yang ingin dilihat publik:
“Hukum tampil tegas dan tidak pandang bulu. Di sinilah fungsi simbolik hukum dimainkan, yakni menjaga legitimasi lembaga dan membangun persepsi bahwa negara bekerja”.
Panggung Belakang: Tarik Ulur Kepentingan dan Simbol Kekuasaan
Berbeda dengan panggung depan, panggung belakang adalah ruang negosiasi kepentingan, kalkulasi politik, dan strategi kekuasaan. Di sini, proses hukum tidak lagi murni berbicara soal pasal dan bukti, melainkan juga soal siapa yang diuntungkan, siapa yang ingin ditekan, dan pesan politik apa yang ingin disampaikan melalui sebuah kasus.
Kasus Roy Suryo Cs bisa dibaca dalam bingkai itu. Ia bukan hanya persoalan hukum individu, melainkan juga representasi dari ketegangan politik, terutama di tahun-tahun menjelang atau pasca kontestasi elektoral.
Penetapan tersangka dapat menjadi simbol kekuatan hukum, tetapi sekaligus sinyal politik:
“Siapa yang “masih di lingkar” dan siapa yang “sudah tidak lagi dibutuhkan.”
Hukum dan Politik: Relasi yang Tak Pernah Putus
Dalam realitas politik Indonesia, garis antara hukum dan politik sering kali kabur. Penegakan hukum kerap digunakan sebagai alat kontrol politik – bukan hanya untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk mengatur ritme dan arah kekuasaan.
Di sisi lain, politik juga memanfaatkan hukum sebagai panggung legitimasi moral:
“Seolah segala langkahnya selalu dalam koridor aturan”.
Fenomena ini membuat publik semakin sulit membedakan mana tindakan hukum yang murni, dan mana yang sarat kepentingan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum mudah goyah.
Menatap ke Depan: Antara Transparansi dan Kejujuran Politik
Publik tentu berharap proses hukum terhadap Roy Suryo Cs benar-benar berjalan berdasarkan prinsip keadilan, bukan agenda politik tersembunyi. Namun, harapan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah dan aparat penegak hukum mau membuka diri terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Keadilan sejati tidak lahir dari panggung depan yang gemerlap, tetapi dari panggung belakang yang bersih. Karena dalam demokrasi, kejujuran di belakang layar jauh lebih penting daripada pertunjukan di depan layar.
Kesimpulan:
Kasus Roy Suryo Cs mengingatkan kita bahwa hukum dan politik di Indonesia masih sering berjalan beriringan dalam dua panggung berbeda.
Masyarakat perlu lebih kritis melihat di balik layar setiap peristiwa hukum, agar tidak mudah terjebak pada ilusi keadilan yang sekadar menjadi pertunjukan publik.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


