Opinions

Refleksi Sumpah Pemuda dan Carut-Marut Pikiran Kaum Cerdik Pandai ‎

1761619641219
Dr. Buhari Fakkah, M.Pd Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Aktivis Dan Pemerhati Sosial - Politik. Foto Ist ‎
Daftar Isian Bacaan+

    Telaah Fenomenologis Jati Diri Generasi Muda Bodoh dan Kepemimpinan Nasional

    Oleh: Buhari Fakkah ( Dosen UMS Rappang )

    ‎INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang ,-Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini mengulang ritualnya: berpidato tentang persatuan, menulis slogan nasionalisme, dan memajang foto para pemuda 1928 di media sosial. Namun setelah upacara usai, semangat Sumpah Pemuda kembali dikubur di bawah lapisan pragmatisme dan kebisingan digital.

    ‎Kita hidup di zaman yang penuh pengetahuan, tapi miskin kesadaran. Zaman di mana kaum muda fasih berbicara tentang “leadership”, namun gagap memahami makna “kepemimpinan”. Zaman di mana kaum cerdik pandai justru sibuk mempercantik citra diri, bukan mencerdaskan bangsanya.

    Kebodohan yang Dihalalkan

    Syamsinar Kobarkan Semangat Pelajar SMAN 3 Pangkep: Jangan Biarkan Narkoba Curi Masa Depanmu

    Dalam kacamata fenomenologis, kebodohan hari ini bukan lagi sekadar ketidaktahuan, melainkan hilangnya makna dari pengetahuan itu sendiri. Media sosial melahirkan intelektualitas:

    “Setiap orang merasa tahu segalanya, padahal hanya mengulang apa yang viral”.

    Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas secara teknologis, namun bodoh secara moral dan intelektual.

    Kaum muda hari ini mudah tersulut isu, tapi malas menelusuri kebenaran. Mereka lebih sibuk memperdebatkan gaya hidup daripada menimbang arah bangsa. Mereka mengutip :

    “Soekarno tanpa memahami penderitaan yang melahirkan kata-katanya”.

    ‎Appi Bakar Semangat Pemuda di HSP 2025: Kita Tak Lagi Angkat Bambu Runcing, Tapi Angkat Ilmu

    ‎Inilah generasi yang tumbuh dalam kebodohan yang dilembagakan oleh kenyamanan, di mana berpikir kritis dianggap berbahaya dan diam dianggap aman.

    Kaum Cerdik Pandai yang Kehilangan Nurani

    Dalam sejarah bangsa, kaum intelektual seharusnya menjadi penjaga nurani dan nalar publik. Namun kini, sebagian besar dari mereka justru menjadi corong kekuasaan. Mereka menjual tafsir agama kepada penguasa yang zalim, menulis teori untuk menutupi kebijakan yang tidak adil, dan menukar integritas dengan posisi strategis.

    ‎Di tangan mereka, ilmu berubah menjadi kosmetik politik, dan kebenaran menjadi komoditas. Fenomena ini menunjukkan krisis paling dalam bangsa ini bukan pada kemiskinan ekonomi, melainkan kemiskinan moral dan intelektual dari para cerdik pandainya.

    Sumpah Pemuda yang Kehilangan Roh

    Demokrasi dan Tirani Mayoritas ‎Oleh: Buhari Fakkah Dosen UMS Rappang

    Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kesadaran eksistensial, bukan kepentingan pragmatis. Ia adalah jeritan kesadaran tentang kemanusiaan dan kebangsaan yang belum merdeka. Para pemuda kala itu berpikir dengan idealisme, bukan algoritma popularitas.

    ‎Namun kini, sumpah itu hanya diingat sebagai peristiwa seremonial, bukan kesadaran kolektif. Kita kehilangan roh persatuan karena terjebak dalam sekat politik, agama, dan ego sosial. Padahal, persatuan yang diikrarkan pada 1928 bukanlah sekadar simbol, melainkan tanggung jawab moral untuk berpikir melampaui kepentingan diri.

    Kepemimpinan yang Tanpa Jiwa

    Krisis kepemimpinan nasional hari ini tak lain adalah cermin dari kebodohan kolektif. Pemimpin dipilih bukan karena gagasan, tapi karena gengsi dan citra.

    “Politik berubah menjadi industri pencitraan, bukan ruang perdebatan gagasan”.

    Kepemimpinan yang lahir tanpa kesadaran moral akan menghasilkan pemerintahan tanpa arah. Dan ketika kaum cerdik pandai ikut diam atau menunduk, maka bangsa ini berjalan menuju kehancurannya sendiri perlahan tapi pasti.

    Harapan yang Masih Tersisa

    ‎Namun di balik semua kebisingan itu, masih ada sekelompok kecil anak muda yang mau berpikir, membaca, dan melawan arus kebodohan. Mereka tidak viral, tetapi berpengaruh. Tidak populer, tapi bekerja dalam senyap.

    ‎Merekalah pewaris sejati Sumpah Pemuda:

    “Generasi yang berani berpikir melampaui zaman, berani jujur di tengah dusta, dan berani berbeda di tengah konformitas”.

    Refleksi Sumpah Pemuda seharusnya tidak berhenti pada upacara, tetapi menjadi momentum kebangkitan kesadaran eksistensial. Bahwa menjadi muda bukan soal usia, tapi soal keberanian berpihak pada kebenaran.

    Penutup

    Bangsa ini tidak akan hancur oleh kebodohan rakyatnya, tetapi oleh pengkhianatan kaum cerdik pandainya.

    ‎Dan selama kaum muda masih berani berpikir jernih, berani mencintai bangsanya tanpa pamrih, maka sumpah 1928 itu masih hidup – tidak di podium, tetapi di hati yang sadar dan merdeka.

    ‎‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda ‎Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement