Oleh : Buhari Fakkah – Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang
INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- 16 November 2025 – Dalam panggung filsafat hukum dan demokrasi, kebenaran seharusnya lahir dari proses dialektis – pertarungan gagasan yang terbuka, rasional, dan berani diuji.
Namun yang kini terjadi justru kebalikannya, kesimpulan sudah diputuskan sebelum perdebatan dimulai.
“Ruang publik kehilangan makna deliberatifnya, hukum kehilangan rasionalitasnya, dan demokrasi kehilangan akal sehatnya”.
Inilah wajah baru otoritarianisme, yang tidak lagi melalui kekerasan fisik, melainkan melalui pembunuhan epistemik ketika proses berpikir dikunci dengan kesimpulan yang sudah ditetapkan.
“Demokrasi yang seharusnya hidup dari perdebatan kini menjadi sekadar ritual seremonial dari kebenaran yang sudah disetujui bersama oleh kekuasaan”.
Dalam logika filsafat hukum, tindakan semacam ini disebut inversi epistemik, proses mencari kebenaran digantikan oleh proses mencari pembenaran.
Kebenaran tidak lagi dicari, tapi diatur. Hukum tidak lagi menjadi ruang terbuka untuk verifikasi, melainkan mekanisme tertutup untuk validasi kekuasaan.
Ketika vonis ditetapkan sebelum bukti diuji, maka hukum berhenti menjadi sarana keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi.
“Ia kehilangan fondasi ontologisnya sebagai penjaga moralitas publik, dan kehilangan epistemologinya sebagai sistem rasional yang dapat diuji secara objektif”.
Situasi ini melahirkan apa yang disebut oleh Michel Foucault sebagai “regime of truth”, rezim kebenaran di mana apa yang benar bukan lagi hasil dari pencarian nalar publik, tetapi produk dari struktur kuasa yang menentukan mana fakta dan mana hoaks.
Dalam rezim semacam ini, hukum menjadi tubuh tanpa jiwa, demokrasi menjadi panggung tanpa debat, dan kebenaran menjadi dosa.
Lebih ironis lagi, rakyat pun perlahan dipaksa untuk tidak berpikir. Sebab dalam demokrasi versi ini, berpikir dianggap ancaman, dan bertanya dianggap pembangkangan.
Maka hadirlah demokrasi kosmetik yang tampak indah di luar, namun busuk di dalam.
“Ia bukan lagi ruang kebebasan, melainkan laboratorium ketaatan”.
Dalam pandangan filsafat hukum klasik, dari Aristoteles hingga Gustav Radbruch, keadilan selalu lahir dari keterbukaan epistemik sebab setiap pandangan harus diuji melalui dialog dan argumentasi.
Tanpa itu, hukum kehilangan moralitasnya dan hanya menjadi mesin formal. Tetapi hari ini, mesin itu bekerja tanpa kendali moral, memproses apa pun yang dianggap “tidak sejalan” sebagai ancaman bagi ketertiban.
Di titik inilah demokrasi kehilangan jantungnya:
“Ia tak lagi menjadi sistem yang membolehkan orang berbeda, tetapi sistem yang menyingkirkan mereka yang berpikir berbeda”.
“Demokrasi tanpa perdebatan bukanlah demokrasi, melainkan monolog kekuasaan yang dibungkus dialog semu”.
Ketika kesimpulan diputuskan sebelum perdebatan, maka seluruh proses hukum hanyalah teater. Hakim menjadi aktor, polisi menjadi sutradara, dan rakyat menjadi penonton yang harus bertepuk tangan pada naskah yang sudah ditulis.
Dalam keadaan demikian, hukum berhenti sebagai institusi rasional, dan berubah menjadi mitos baru kekuasaan.
Demokrasi yang sejati menuntut keberanian untuk membiarkan ketidakpastian hidup karena kebenaran tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari pertentangan.
Tetapi ketika negara menolak dialog dan tergesa-gesa menutup perdebatan, maka ia sesungguhnya sedang menulis epitaf bagi rasionalitasnya sendiri.
Kita hidup dalam zaman yang aneh di mana kebenaran harus mendapat izin, dan kebohongan mendapat perlindungan hukum.
Negara seperti ini tak membutuhkan filsafat, sebab ia sudah punya dogma;
“Tak membutuhkan dialog, sebab ia sudah punya keputusan”.
Maka benar kiranya, demokrasi kita hari ini bukan mati karena dibunuh, melainkan karena tidak diberi kesempatan untuk berpikir.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


