Oleh: Aminatuzzuhriah, S.Pd (Sekretaris Umum HMI Cab. Pangkep)
INSAN.NEWS || Pangkajene Kepulauan,– 03 November 2025 – Di tengah perkembangan teknologi informasi, ruang publik kini dipenuhi beragam pernyataan, pandangan, dan tafsir. Media sosial menjadi arena tempat wacana bersilang tanpa batas ruang dan waktu.
Namun, derasnya kebebasan berpendapat itu tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas dialog. Alih-alih mempertimbangkan substansi, sebagian pihak justru lebih memilih menyerang pribadi yang berbicara.
Fenomena ini tampak jelas dalam budaya diskusi saat ini. Kritik sering kali diarahkan pada siapa yang menyampaikan, bukan pada apa yang disampaikan. Identitas, latar belakang, bahkan kehidupan pribadi seseorang kerap dijadikan bahan serangan. Padahal, inti debat seharusnya bertumpu pada logika dan argumentasi, bukan pada aspek-aspek yang tak berkaitan dengan substansi.
Dalam sebuah nasihat yang masyhur, Ali bin Abi Thalib mengingatkan:
“Jangan melihat siapa yang berbicara, tetapi perhatikan apa yang ia katakan.”
Petuah ini menegaskan bahwa nilai sebuah pernyataan ditentukan oleh isinya, bukan oleh sosok yang menyampaikannya. Prinsip inilah yang kerap terabaikan dalam dinamika diskusi modern.
Dalam tradisi intelektual Barat, kekeliruan semacam ini dikenal sebagai fallacy ad hominem. Istilah Latin ini berarti “menyerang manusia (pelaku)”, bukan gagasannya. Filsuf logika seperti Irving M. Copi memasukkan ad hominem sebagai fallacy of relevance, yakni kesalahan penalaran yang menolak argumen berdasarkan hal yang tidak relevan dengan isinya. Artinya, serangan pada pribadi sama sekali tidak membuktikan benar atau salahnya gagasan.
Akibat budaya menyerang pribadi, iklim percakapan publik menjadi keruh dan penuh bias. Banyak orang akhirnya enggan menyampaikan pandangan karena khawatir personalitasnya menjadi sasaran. Ini menciptakan ruang yang tidak sehat bagi demokrasi, sebab keberagaman gagasan adalah syarat penting bagi tumbuhnya pemikiran yang kritis.
Praktik menyerang personal juga bertentangan dengan asas debat ilmiah sebagaimana ditegaskan John Stuart Mill dalam On Liberty bahwa kebebasan berpendapat hanya dapat bermanfaat jika pertukaran ide berlangsung substantif; Masyarakat tidak mungkin berkembang di bawah represi, termasuk represi verbal yang merendahkan pribadi penyampai gagasan.
Dalam konteks ini, prinsip “serang argumennya, jangan orangnya” perlu dikedepankan. Perbedaan pendapat merupakan hal wajar, bahkan esensial, dalam masyarakat yang terbuka. Tetapi perbedaan tersebut harus diolah melalui proses intelektual yang menghormati lawan bicara. Menanggapi argumen dengan argumen merupakan indikator kedewasaan berpikir. Sebaliknya, menyerang karakter seseorang hanya menunjukkan ketidakmampuan untuk menguji gagasan secara rasional.
Sebagaimana dikatakan Socrates bahwa pencarian kebenaran dimulai dari dialog jujur dan rasional. Dialog yang baik bukan untuk memenangkan ego, melainkan mendekatkan diri pada kebenaran. Ini hanya mungkin tercapai bila perdebatan berfokus pada premis dan logika, bukan pada siapa yang mengucapkannya.
Membiasakan diri untuk menilai isi, bukan identitas, adalah langkah penting untuk mengembalikan marwah dialog. Kritik terhadap argumen dapat membuka jalan bagi pemahaman baru, sementara serangan terhadap pribadi justru mengunci ruang diskusi dan menumbuhkan permusuhan.
Ruang publik yang sehat adalah ruang yang aman bagi perbedaan. Kita tidak selalu harus sepakat, tetapi kita wajib menjunjung martabat sesama. Dengan menjadikan gagasan sebagai pusat perdebatan, masyarakat dapat bergerak menuju diskursus yang lebih matang dan produktif.
Pada akhirnya, menjaga kualitas dialog bukan semata-mata tanggung jawab individu, tetapi juga agenda bersama. Menyimak sebelum menanggapi, mempertimbangkan sebelum menghakimi, serta menguji sebelum menolak adalah praktik dasar yang perlu terus ditanamkan.
Saatnya kembali pada fondasi nalar: serang argumennya, jangan orangnya.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


