News

Demokrasi dan Tirani Mayoritas ‎Oleh: Buhari Fakkah Dosen UMS Rappang

IMG 20251025 WA0002
Dr. Buhari Fakkah, M.Pd Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Aktivis Dan Pemerhati Sosial - Politik. Foto Ist ‎
Daftar Isian Bacaan+

    ‎INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang – 25 Oktober – 2025 – “Membuka ruang kritik serius terhadap paradoks demokrasi modern ketika kuasa rakyat justru melahirkan kebodohan kolektif”.

    ‎‎“Ketika suara terbanyak bukan lagi kebenaran, melainkan legitimasi bagi kebodohan yang terorganisir”.

    Demokrasi sering dipuja sebagai sistem paling adil karena memberi ruang bagi semua orang untuk bersuara. Namun, bagaimana jika suara terbanyak justru datang dari mereka yang mudah disesatkan?

    ‎”Di sinilah demokrasi berisiko berubah menjadi tirani mayoritas bodoh, kerakusan kekuasaan yang lahir dari ketidaktahuan massal”

    Demokrasi sering dianggap sebagai puncak peradaban politik manusia. Demokrasi selalu menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi rakyat. Tetapi, di sisi lain, demokrasi juga menyimpan racunnya sendiri, ketika rakyat banyak tidak lagi berpikir, ketika suara terbanyak datang dari mereka yang mudah diarahkan, maka demokrasi berubah wajah  dari pemerintahan rakyat menjadi tirani mayoritas bodoh.

    Wujudkan Smart Governance, Kominfo Makassar Gelar Bimtek Arsitektur SPBE Terpadu

    Ketika Kuantitas Mengalahkan Kualitas

    ‎Masalah terbesar dalam demokrasi bukan pada sistemnya, melainkan pada kualitas manusianya. Jika rakyat yang memilih tidak punya kesadaran politik, tidak paham isu-isu kebangsaan, atau memilih karena uang dan sentimen, maka hasil pemilu bukanlah kemenangan kebenaran, melainkan kemenangan kebodohan.

    Pemimpin yang lahir dari kebodohan massal akan memperpanjang kebodohan itu sendiri. Ia akan memerintah bukan dengan visi dan akal sehatnya, melainkan dengan pencitraan, simbolisme, dan permainan emosi. Demokrasi pun kehilangan ruhnya dan hanya akan   menjadi pasar retorika yang sangat transaksional tanpa moralitas.

    Pemilih Menjadi Korban Propaganda

    ‎Dalam Era Media Sosial, propaganda bekerja lebih halus dan masif. Rakyat bukan lagi dibodohi dengan kekerasan, tapi dengan narasi yang memanjakan kebodohan. Setiap orang merasa tahu segalanya dari potongan video, dari slogan, jargon, dari kalimat singkat yang menggugah amarah. Padahal, di balik semua itu, opini publik sedang dikendalikan oleh algoritma dan buzzer politik murahan nan bodoh.

    Ilmuwan Tanpa Tulang Punggung: Ketika Akal Dijual di Bursa Politik

    ‎‎Tirani Mayoritas Bodoh ini lahir ketika suara rakyat lebih cepat dipengaruhi oleh klik dan trending topic daripada oleh logika dan moral. Akibatnya, yang jujur kalah oleh yang pandai berpura-pura, yang berpikir kalah oleh yang berteriak.

    Liberalisme yang Kehilangan Akal

    ‎Demokrasi liberal menyanjung kebebasan individu, tetapi tanpa pendidikan politik dan kesadaran moral, kebebasan itu berubah menjadi bencana.

    ‎”Setiap orang bebas bicara, tapi tidak semua tahu apa yang dibicarakan. Setiap orang bebas memilih, tapi tidak semua paham konsekuensinya”.

    ‎Maka, ketika mayoritas bodoh bersuara lebih keras dari minoritas cerdas, demokrasi berhenti menjadi sistem yang rasional. Ia berubah menjadi sirkus elektoral tempat rakyat menjadi penonton dan objek manipulasi.

    Manifesto Moral dan Idealisme Intelektual ‎ ‎Oleh : Buhari Fakkah

    ‎‎Menemukan Jalan Keluar Solusi bagi demokrasi bukanlah menolak rakyat, tetapi mendidik rakyat. Tanpa literasi politik, demokrasi hanya akan menjadi mesin pengganda kebodohan.

    ‎Pendidikan kritis harus menjadi fondasi agar rakyat bisa membedakan antara pemimpin yang berpura-pura peduli dan pemimpin yang benar-benar berjuang.

    ‎Kita butuh rakyat yang tidak hanya berani memilih, tetapi juga berani berpikir.

    ‎‎”Sebab kebodohan kolektif hanya bisa dikalahkan oleh kesadaran kolektif”.

    Penutup

    Demokrasi sejati tidak sekadar memberi hak bicara pada semua orang, tetapi juga menumbuhkan tanggung jawab berpikir. Ketika rakyat gagal berpikir, mereka bukan sedang berdaulat tetapi mereka sedang diperdaya.

    ‎‎Dan di situlah lahir tirani baru, bukan dari penguasa yang menindas, tetapi dari mayoritas yang tidak mau belajar. Sebuah tirani yang lebih halus, tapi yang lebih berbahaya adalah “Tirani Mayoritas Yang Bodoh”.

    INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda ‎Follow Berita InsanNews di Google New

    × Advertisement
    × Advertisement