Opinions

Demokrasi dan Urgensi Kemampuan Argumentasi: Fondasi Epistemik Bagi Kebijaksanaan Politik ‎

IMG 20251103 WA0016
‎Dr. Buhari Fakkah, M.Pd - Dosen Universitas Muhammadiyah Sidenreng - Rappang, Pemerhati Demokrasi, Dan Etika Publik. Aktif menulis Opini Reflektif Tentang Filsafat, Demokrasi dan Politik di Berbagai Media. Jum'at (19/12/2025). Foto Barsa

‎Oleh : Buhari Fakkah – Dosen UMS Rappang

1. Pendahuluan

INSAN.NEWS || Sidenreng – Rappang,- Jum’at 19 Desember 2025 – Dalam tulisan ini penulis mengajukan tesis bahwa demokrasi tidak dapat bertahan secara substantif tanpa kemampuan argumentasi publik yang memadai.

Demokrasi yang hanya beroperasi pada tingkat prosedural berisiko terjerumus ke dalam dominasi opini, populisme, dan manipulasi emosional.

Dengan merujuk pada tradisi filsafat politik klasik khususnya Plato dan Aristoteles serta teori demokrasi deliberatif modern, penulis menegaskan bahwa argumentasi rasional merupakan prasyarat epistemik bagi legitimasi demokrasi.

Rahim Perempuan Dijarah, Peradaban Diperkosa

Dalam konteks Indonesia, lemahnya budaya argumentasi publik berkontribusi pada banalitas diskursus politik, feodalisasi relasi kekuasaan, dan krisis kebijaksanaan kepemimpinan.

Tulisan ini menekankan pentingnya pendidikan argumentatif sebagai proyek kebudayaan untuk mendewasakan demokrasi.

‎Demokrasi sering didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang memberi ruang partisipasi luas bagi warga negara dalam pengambilan keputusan politik.

Namun, partisipasi semata tidak menjamin kualitas keputusan publik. Tanpa kemampuan argumentasi, partisipasi dapat berubah menjadi agregasi opini yang tidak teruji secara rasional.

Oleh karena itu, problem utama demokrasi kontemporer bukan sekadar siapa yang berbicara, melainkan bagaimana berbicara dan atas dasar apa.

Gerakan Politik Qahar Mudzakkar: Telaah Pendidikan Politik Islam dan Keindonesiaan

‎Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa demokrasi adalah praktik epistemik sekaligus normatif. Ia menuntut bukan hanya prosedur pemungutan suara, tetapi juga kapasitas warga dan elite politik untuk berargumentasi secara rasional, terbuka terhadap kritik, dan bersedia merevisi pandangan berdasarkan alasan yang lebih kuat.

Tanpa prasyarat ini, demokrasi berisiko menjadi mekanisme legitimasi kekuasaan yang tidak bijaksana.

‎‎2. Argumentasi sebagai Fondasi Epistemik Demokrasi

‎Argumentasi dapat dipahami sebagai proses penyampaian klaim yang disertai alasan, bukti, dan justifikasi yang dapat diuji secara publik. Dalam konteks demokrasi, argumentasi berfungsi sebagai mekanisme penyaring antara opini subjektif dan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

‎Demokrasi yang sehat tidak meniadakan perbedaan pendapat, tetapi mengelolanya melalui pertukaran argumen. Dengan demikian, legitimasi keputusan publik tidak hanya bersumber dari jumlah suara, tetapi juga dari kualitas alasan yang mendasarinya. Perspektif ini menempatkan demokrasi sebagai reason giving system, bukan sekadar vote counting system.

‎Kendali Borjuis–Oligarkis atas Masa Depan Demokrasi Substantif

‎‎3. Plato: Demokrasi, Opini, dan Bahaya Ketidaktahuan

‎Dalam Republic, Plato mengkritik demokrasi sebagai pemerintahan yang didominasi oleh doxa (opini), bukan episteme (pengetahuan).

Demokrasi, menurut Plato, menyamakan semua pendapat tanpa membedakan tingkat kebenarannya. Akibatnya, ruang publik mudah dikuasai oleh demagog tokoh yang pandai membangkitkan emosi, tetapi miskin kebijaksanaan.

‎Kritik Plato ini tidak menolak partisipasi rakyat, melainkan menyoroti absennya pendidikan rasional dalam demokrasi. Demokrasi tanpa kemampuan argumentasi, dalam pandangan Plato, akan melahirkan keputusan kolektif yang tidak rasional dan membuka jalan bagi tirani.

‎4. Aristoteles: Logos, Etika, dan Politik

‎Berbeda dari Plato, Aristoteles menawarkan pendekatan yang lebih konstruktif. Dalam Politics dan Nicomachean Ethics, ia menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon yang dibekali logos – kemampuan bernalar dan berargumentasi. Politik, bagi Aristoteles, adalah kelanjutan dari etika;

“Keputusan publik harus diarahkan pada eudaimonia (kehidupan baik)”.

‎Argumentasi memainkan peran sentral dalam politik Aristotelian karena melalui logos warga dan pemimpin dapat menimbang kebaikan bersama.

Kekuasaan yang tidak disertai kemampuan berargumentasi dan kebajikan moral dianggap sebagai bentuk penyimpangan (deviant constitution).

5. Demokrasi Deliberatif dan Tradisi Modern

‎Gagasan bahwa demokrasi harus berbasis argumentasi juga dikembangkan dalam teori demokrasi deliberatif modern, terutama oleh Jürgen Habermas.

Dalam perspektif ini, legitimasi demokrasi lahir dari proses deliberasi rasional di ruang publik, di mana klaim diuji melalui argumentasi yang bebas dari dominasi.

‎Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya public reasoning dan kesetaraan diskursif. Keputusan dianggap sah bukan karena didukung mayoritas semata, tetapi karena dihasilkan melalui proses argumentatif yang inklusif dan rasional.

‎6. Konteks Indonesia: Demokrasi tanpa Budaya Argumentasi

‎Dalam konteks Indonesia, demokrasi elektoral berkembang pesat, tetapi budaya argumentasi publik tertinggal. Diskursus politik cenderung bersifat simbolik, emosional, dan personal. Identitas sering menggantikan alasan, sementara loyalitas menggantikan kritik.

‎Kondisi ini menyebabkan:

‎1. Lemahnya kontrol publik terhadap kekuasaan,

2. Suburnya populisme dan politik identitas,

‎3. Reproduksi feodalisme dalam bentuk patron–klien modern.

‎Demokrasi tetap berjalan secara prosedural, tetapi kehilangan fungsi epistemiknya sebagai arena pencarian kebenaran dan kebijakan terbaik.

‎7. Pendidikan Argumentasi sebagai Proyek Demokrasi

‎Jika demokrasi dipahami sebagai praktik bernalar kolektif, maka pendidikan argumentasi menjadi kebutuhan mendesak. Pendidikan politik tidak cukup mengajarkan hak memilih, tetapi harus melatih kemampuan:

“Menyusun argumen, mengevaluasi klaim, membedakan fakta, opini, dan manipulasi”.

‎Dengan demikian, demokrasi tidak hanya menghasilkan partisipasi, tetapi juga kebijaksanaan publik.

‎8. Kesimpulan

‎Demokrasi tanpa kemampuan argumentasi adalah demokrasi yang rapuh. Ia mudah dimanipulasi, mudah terseret emosi, dan sulit menghasilkan keputusan yang bijaksana.

Baik dalam tradisi filsafat klasik maupun teori demokrasi modern, argumentasi rasional diakui sebagai fondasi epistemik demokrasi.

‎Dalam konteks Indonesia, penguatan budaya argumentasi publik merupakan prasyarat mendasar untuk mendewasakan demokrasi.

Demokrasi harus diasuh dan pengasuhnya bukan sekadar institusi, melainkan kemampuan bernalar dan berargumentasi warga negaranya.

INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

× Advertisement
× Advertisement