Oleh : Baharuddin Hafid (Akademisi Universitas Megarezky Makassar)
INSAN.NEWS || Makassar,- 18 Desember 2025 – Nama Qahar Mudzakkar menempati posisi ambigu dalam sejarah politik Indonesia. Di satu sisi, ia adalah pahlawan revolusi yang terlibat aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Di sisi lain, ia dikenal sebagai pemimpin “Revolusi Islam DI/TII di Sulawesi Selatan yang mengusung ide Negara Islam Indonesia. Ambiguitas inilah yang menjadikan gerakan politik Qahar Mudzakkar menarik ditelaah bukan sekadar sebagai konflik bersenjata, melainkan sebagai fenomena pendidikan politik Islam dalam konteks keindonesiaan.
Islam, Revolusi, dan Kesadaran Politik
Qahar Mudzakkar lahir dari rahim zaman yang penuh ketegangan ideologis. Pasca-kemerdekaan, Indonesia belum selesai mendefinisikan dirinya:
“Apakah sebagai negara nasional-sekuler, negara agama, atau negara dengan sintesis khas seperti yang kemudian termaktub dalam Pancasila”.
Dalam konteks ini, Qahar merepresentasikan sebagian umat Islam yang merasa Islam dikecilkan perannya dalam fondasi negara.
Gerakan Qahar tidak lahir dari kevakuman teologis, melainkan dari kesadaran politik Islam yang berkembang melalui pengalaman kolonialisme, revolusi fisik, dan kekecewaan terhadap negara pascakolonial.
Dalam perspektif pendidikan politik Islam, Qahar adalah produk dari narasi bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem nilai politik dan sosial (al-dīn wa al-dawlah). Pendidikan Politik Islam:
“Antara Idealisme dan Reduksi Realitas”.
Gerakan Qahar Mudzakkar mengajarkan satu pelajaran penting:
“Pendidikan politik Islam yang tidak disertai pemahaman sosiologis dan kebangsaan berisiko terjebak pada formalisme ideologis”.
Qahar memaknai negara Islam secara normatif-teologis, namun kurang memberi ruang pada realitas pluralitas Indonesia – baik secara etnis, agama, maupun sejarah politik.
Dalam hal ini, gerakan Qahar dapat dibaca sebagai pendidikan politik Islam yang bersifat eksklusif, di mana legitimasi politik ditentukan oleh kesesuaian formal dengan syariat, bukan oleh kontrak sosial kebangsaan.
Padahal, tradisi politik Islam klasik sendiri – seperti dalam pemikiran al-Mawardi atau Ibn Khaldun – selalu mempertimbangkan realitas sosial (urf) dan kemaslahatan (maslahah).
Keindonesiaan sebagai Proyek Etis, Bukan Sekadar Politik
Dari sudut pandang keindonesiaan, perlawanan Qahar menyingkap kegagalan negara dalam melakukan pendidikan politik yang inklusif. Negara pasca-1945 terlalu cepat menuntut loyalitas, namun lamban menghadirkan keadilan sosial, pengakuan politik, dan kesejahteraan, khususnya di daerah-daerah pinggiran seperti Sulawesi Selatan.
Di sinilah pentingnya membaca Qahar tidak semata sebagai “perlawanan keras”, tetapi sebagai gejala krisis integrasi nasional.
Pendidikan politik keindonesiaan seharusnya tidak berhenti pada simbol Pancasila dan NKRI, tetapi harus menjelma dalam praktik keadilan, dialog ideologis, dan pengakuan terhadap aspirasi keagamaan.
Pelajaran bagi Pendidikan Politik Islam Kontemporer
Gerakan Qahar Mudzakkar memberi pelajaran penting bagi pendidikan politik Islam hari ini:
1. Islam dan negara tidak boleh dipertentangkan secara simplistik, tetapi perlu dirumuskan secara kontekstual dan dialogis.
2. Keindonesiaan adalah ruang ijtihad politik, bukan dogma sekuler yang antiagama.
3. Pendidikan politik Islam harus mengedepankan etika kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), bukan sekadar loyalitas ideologis.
4. Kekerasan politik atas nama agama justru mereduksi pesan moral Islam itu sendiri.
Dalam konteks kekinian, ketika politik identitas kembali menguat, refleksi atas Qahar Mudzakkar menjadi relevan.
Ia mengingatkan kita bahwa Islam yang tercerabut dari kebijaksanaan kebangsaan dapat kehilangan ruh rahmatan lil ‘alamin, sementara nasionalisme yang menafikan aspirasi keagamaan berpotensi melahirkan perlawanan laten.
Penutup
Qahar Mudzakkar adalah cermin dari pergulatan panjang Islam dan Indonesia. Ia bukan sekadar tokoh hitam-putih, melainkan simpul sejarah yang memperlihatkan pentingnya pendidikan politik Islam yang dewasa, inklusif, dan berakar pada realitas keindonesiaan.
Dari Qahar, kita belajar bahwa membangun negara bukan hanya soal siapa yang benar secara ideologis, tetapi siapa yang mampu merawat persatuan dalam keadilan.
INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New


