INSAN.NEWS || Pangkep – 11 Oktober 2025 Di sebuah ruko tua di jantung Kabupaten Pangkep, aroma kopi hitam, kertas lusuh, dan spidol kering bercampur menjadi saksi lahirnya semangat juang para kader muda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari tempat sederhana inilah kisah seorang kader bernama FM dimulai—sebuah kisah tanpa romansa senioritas, namun penuh getar perjuangan yang tulus.
Salam Perkenalan di Ruko Tua
Hari pertama FM melangkah ke sekretariat HMI Cabang Pangkep, tak ada sambutan hangat. Hanya suara dingin dari seorang senior, “Kalau mau berjuang, jangan banyak gaya. Tunjukkan loyalitas.”
Kalimat singkat itu menjadi cambuk. Di antara tumpukan buku-buku ideologi dan gelas kopi setengah kosong, FM memulai perjalanan panjangnya sebagai kader tanpa pelindung.
Basic Training – Malam yang Menguji
Di forum Basic Training, FM menemukan arti baru dari kata “perjuangan”. Ia belajar tentang Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan. Malam renungan suci membuatnya terisak dalam dia menyadari bahwa berjuang bukan hanya tentang organisasi, tapi juga tentang menemukan makna hidup.
Namun bisik-bisik tentang “favoritisme senior” mulai terdengar. Di balik idealisme, FM mencium aroma politik. Dan di situlah idealismenya diuji untuk pertama kali.
Luka di Balik Hijau
Semakin aktif, FM semakin mengenal sisi gelap organisasi. Perebutan jabatan, senioritas, dan geng-gengan menjadi warna lain dalam dinamika HMI.
Ia dituduh “tidak hormat” hanya karena berbeda pandangan. Teman seperjuangan satu per satu menjauh. Tapi FM, yang kini lebih dikenal dengan nama FM, memilih tetap tegak.
“Perbedaan bukan pengkhianatan,” tulisnya dalam catatan kecil di dinding sekretariat.
Tidak Ada Cinta Senior
FM sadar, ia tidak punya pelindung. Tidak ada senior yang membelanya, tidak ada tangan yang menepuk pundaknya. Tapi justru dari sepi itulah, ia menemukan jati diri sejatinya.
Ia berdiri di atas kakinya sendiri, berjuang bukan karena pujian, melainkan karena keyakinan.
Mottonya sederhana tapi membekas:
“Aku tidak dicintai, tapi aku mencintai perjuangan ini.”
Gelombang Musyawarah Cabang
Menjelang Musyawarah Cabang (Muscab), suhu politik memanas. Tawaran jabatan datang, dengan satu syarat: tunduk pada kelompok tertentu.
FM menolak. Ia tahu, harga dari idealisme adalah kesepian.
Dan benar, ia tersisih. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bebas.
Sunyi yang Menguatkan
Pasca-Muscab, FM memilih diam. Ia tetap datang ke sekretariat, membersihkan lantai, menulis buletin, dan menyiapkan kopi untuk siapa saja yang datang.
Suatu sore, seorang kader muda bertanya,
“Kak FM, kenapa masih bertahan?”
Ia tersenyum pelan.
“Karena perjuangan ini bukan untuk mereka yang mencintai kita, tapi untuk mereka yang akan lahir setelah kita.”
Hijau di Dada Kami
Tahun-tahun berlalu. FM tak pernah menjabat posisi penting, tapi namanya melekat dalam ingatan kader-kader baru.
Mereka menyebutnya sebagai kader idealis, sosok yang tak pernah lelah memperjuangkan nilai hijau hitam di dadanya.
Satu kalimat yang ia tulis di tembok sekretariat kini menjadi legenda:
“Cinta senior bisa hilang, tapi semangat juang tak boleh padam.”
Penutup: Ia Tak Memenangkan Jabatan, Tapi Memenangkan Dirinya Sendiri
Kini, kisah FM bukan sekadar catatan organisasi. Ia adalah refleksi tentang ketulusan, idealisme, dan makna sejati dari kata “berjuang”.
Dalam diam dan kesederhanaan, ia telah menorehkan sejarah kecil di hati kader HMI Cabang Pangkep bahwa cinta sejati bukan pada manusia, tapi pada perjuangan itu sendiri.