insan.news || Global News – Presiden China Xi Jinping dikatakan tengah pertimbangkan mengirim pasokan militer dan diklaim memutuskan untuk membantu Rusia dengan dukungan ekonomi dan keuangan selama perang di Ukraina. Sedang Pemerintahan Amerika Serikat yang sempat berdialog dengan China pun pesimis bisa membujuk untuk negeri Tirai Bambu itu berubah pikiran.
Dikutib dari The Guardian, Selasa (15/3/2022), Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, berbicara langsung dengan mitranya dari China, Yang Jiechi. Keduanya berdialog selama tujuh jam di Roma, Italia untuk membahas posisi negaranya dalam konflik Rusia dan Ukraina.
“Itu adalah sesi tujuh jam yang intens, kami merefleksikan krisis yang terjadi saat ini, serta komitmen untuk mempertahankan jalur komunikasi yang terbuka,” kata seorang pejabat senior pemerintah.
“Pertemuan ini bukan tentang menegosiasikan masalah atau hasil tertentu, tetapi tentang pertukaran pandangan yang jujur dan langsung.”
Ditanya apakah pertemuan itu berhasil, sumber tersebut tak memberikan jawaban yang jelas.
“Saya kira itu tergantung pada bagaimana anda mendefinisikan kesuksesan, tetapi kami percaya bahwa penting untuk menjaga jalur komunikasi terbuka antara Amerika Serikat dan China, terutama di area di mana kami tidak setuju,” tuturnya.
Amerika tak yakin bahwa pemerintah China akan berubah pikiran tentang dukunganya terhadap Moskow.
Disebutkan bahwa China akan membantu perekonomian Rusia yang terpuruk akibat sanksi global.
Sementara itu, Beijing disebutkan sedang mempertimbangkan pengiriman senjata sesuai yang diminta Rusia.
Seperti halnya senjata militer berupa drone tempur dan berbagai macam amunisi yang biasa dibeli pemerintah Rusia.
“Kuncinya di sini adalah pertama-tama membuat China mengkalkulasi ulang dan mengevaluasi kembali posisi mereka. Kami tidak melihat tanda-tanda evaluasi ulang itu,” kata pejabat AS lainnya.
“Mereka telah memutuskan bahwa mereka akan memberikan dukungan ekonomi dan keuangan, dan mereka menggarisbawahi hal itu hari ini. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan melangkah lebih jauh.”
Solusi China untuk Redakan Konflik Rusia-Ukraina
Dimulai pada Kamis (24/2/2022), operasi militer spesial yang dilakukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina masih terus berlangsung hingga Rabu (2/3/2022).
Ukraina dan Rusia sendiri sempat melakukan diskusi membicarakan perdamaian pada Senin (28/2/2022) namun belum ada hasil pasti.
Pemerintah China menganjurkan agar petinggi pemerintah Rusia dan Ukraina bisa duduk bersama untuk melakukan negosiasi.
Dikutip dari RT.com, pernyataan ini disampaikan oleh representatif permanen China di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Zhang Jun.
“Hal yang paling penting saat ini adalah kembali ke jalur diplomasi negosiasi dan membuat penyelesaian secara politik sesegera mungkin untuk meredakan situasi,” terangnya.
“China mendukung dialog langsung dan negosiasi antara Rusia dan Ukraina,” jelas Zhang.
Zhang menegaskan komunitas internasional harus memprioritaskan stabilitas, keamanan regional, serta keamanan universal untuk semuanya.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri China menyatakan menentang penggunaan sanksi sepihak pada Rusia untuk menyelesaikan krisis di Ukraina.
Kekuatan Barat telah mengumumkan serangkaian tindakan hukuman, termasuk terhadap ekonomi Rusia dan sektor perbankannya.
Disebutkan bahwa sanksi tersebut justru akan memperumit masalah dan menjauhkan dari upaya damai antara Rusia dan Ukraina.
dikutib dari rt.com (russia today), Selasa (1/3/2022), hal ini disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin.
Pada jumpa pers reguler, ia mengatakan bahwa sanksi tidak akan menyelesaikan masalah tetapi justru menciptakan masalah baru.
Dia mengklaim bahwa sanksi akan mengganggu proses mencapai gencatan senjata dan kesepakatan politik untuk mengakhiri konflik.
“China tidak mendukung penggunaan sanksi untuk menyelesaikan masalah dan bahkan lebih menentang sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum internasional,” kata Wang.
Adapun negara-negara dunia telah memberlakukan sanksi tegas terhadap Rusia.
Hal ini membuat nilai tukar mata uang Rusia, rubel, ke terjun bebas hingga lebih dari 30 %.
Pihak NATO juga telah setuju untuk memotong akses sejumlah bank Rusia dari sistem keuangan SWIFT.
Hal ini menyebabkan bank di negara Rusia tak bisa melakukan transaksi keuangan internasional.
Sehingga, sejumlah aset milik bank tersebut yang ada di luar negeri, dibekukan dan tak bisa untuk ditarik.
Hal ini menyebabkan terjadi kepanikan di dalam negara Rusia sendiri.
Terlihat dari antrean panjang warga Rusia yang berbondong-bondong menarik simpanannya dari bank-bank yang digunakan.
Dikhawatirkan adanya pembatasan akses ke SWIFT akan berdampak juga pada pembekuan aset nasabah dan pembatasan penarikan uang