Opinions

Machiavelli dan Kemunafikan Politik: Menimbang Sisi Lain Pikiran Politik Kekuasaan ‎

1763517889880
‎Baharuddin Hafid - Dosen tetap Universitaz Megatezky Makassar Dan Instruktur NDPers Nasional. Selasa (23/12/2025). Foto Ist

Oleh Baharuddin Hafid (Akademisi Universitas Megarezky Makassar)

‎INSAN.NEWS || Makassar,- Selasa 23 Desember 2025 – Nama Niccolò Machiavelli kerap dijadikan sebagai kambing hitam dalam diskursus politik. Ia dituduh melegitimasi kebohongan, pengkhianatan, dan kekerasan demi kekuasaan. Istilah Machiavellian bahkan telah menjadi sinonim bagi kemunafikan politik.

‎Namun, pembacaan yang terlalu cepat terhadap Machiavelli – khususnya melalui Il Principe – sering kali menutup sisi lain yang justru penting:

‎”Machiavelli bukan perayap kegelapan moral, melainkan analis telanjang tentang realitas kekuasaan”.

‎Dalam Il Principe, Machiavelli menulis bahwa penguasa tidak selalu bisa, dan bahkan tidak seharusnya, bertindak sesuai kebajikan moral konvensional. Pernyataan ini kerap disalahpahami sebagai ajakan untuk munafik.

Ketika 61,6% Lulusan SD ke Bawah Menjadi Penentu Kemenangan Demokrasi Liberal: Membaca Ulang Masa Depan Negara

‎Padahal, Machiavelli sedang memotret fakta keras politik Italia abad ke-16 yang terpecah, rapuh, dan dikepung intrik.

‎Ia berbicara tentang come si vive, bukan come si dovrebbe vivere – bagaimana manusia hidup, bukan bagaimana seharusnya mereka hidup. Di titik ini, Machiavelli tampil sebagai realis politik, bukan guru moral.

‎Kemunafikan politik dalam kacamata Machiavelli bukanlah kebajikan, melainkan alat. Ia sadar bahwa kekuasaan beroperasi di ruang di mana persepsi sering kali lebih menentukan daripada kebenaran.

‎Maka, penguasa “harus tampak” bermoral, adil, dan religius – meski dalam praktiknya ia harus siap melanggar semua itu demi kelangsungan negara.

‎Ini bukan pembelaan atas kebohongan, melainkan pengakuan pahit bahwa politik adalah arena konflik kepentingan, bukan ruang kesalehan personal.

Meniti Jalan Sunyi, Menyelami Kebeningan Mata Air Pengkaderan

‎‎Namun, sisi lain Machiavelli sering luput:

“Komitmennya pada republik dan kebebasan sipil”.

Dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli justru memuji republik, hukum, dan partisipasi warga.

‎Ia mengkritik tirani yang rapuh dan menilai bahwa kebebasan hanya bisa dijaga oleh institusi yang kuat dan warga yang waspada. Artinya, Machiavelli tidak sedang meromantisasi penguasa licik;

‎”Ia memperingatkan bahaya jika kekuasaan diserahkan pada moralitas naif tanpa pengaman institusional”.

Demokrasi dan Urgensi Kemampuan Argumentasi: Fondasi Epistemik Bagi Kebijaksanaan Politik ‎

‎Di sinilah relevansinya hari ini. Politik modern kerap memamerkan wajah moral di panggung publik, sambil mengelola kepentingan di belakang layar. Kita mudah mengecamnya sebagai kemunafikan, tetapi jarang bertanya:

“Apakah kemunafikan itu lahir dari karakter individu, atau dari desain sistem yang menuntut kompromi terus-menerus”? 

‎Machiavelli akan menjawab:

‎”Tanpa institusi yang membatasi kekuasaan, kemunafikan menjadi niscaya”.

‎Moralitas personal tidak cukup untuk menahan godaan kekuasaan. Menimbang Machiavelli secara adil berarti menolak dua ekstrem:

‎”Mengutuknya sebagai iblis politik, atau memujanya sebagai pembenar segala cara. Ia lebih tepat dibaca sebagai cermin yang jujur – dan karena itu tidak nyaman – tentang politik sebagaimana adanya”.

‎Cermin itu memaksa kita bertanya:

‎”Apakah kita ingin politik yang tampak suci namun rapuh, atau politik yang realistis namun terkendali oleh hukum dan etika publik”?

‎Pada akhirnya, Machiavelli mengajarkan satu pelajaran penting:

“Bahaya terbesar bukanlah penguasa yang sadar akan kegelapan politik, melainkan masyarakat yang menolak melihatnya”.

‎Tanpa kewaspadaan publik dan institusi yang kuat, kemunafikan bukan sekadar strategi – ia berubah menjadi watak permanen kekuasaan.

‎INSAN.NEWS – Menginspirasi Anda Follow Berita InsanNews di Google New

× Advertisement
× Advertisement